Jumat, 14 Oktober 2011

Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi


PENDAHULUAN
Aliran  darah  mukosa,  memegang  peranan  vital  dalam proteksi mukosa karena fungsinya membawa oksigen, zat-zat makanan dan bikarbonat ke epitel permukaan dan menyingkirkan ion hidrogen yang menembus sawar mukus bikarbonat dan sawar mukosa. Aliran darah mukosa yang kurang telah terbukti  merupakan faktor yang penting dalam menyebabkan kerusakan mukosa. Dalam hal ini, kurangnya oksigen dan zat-zat makanan yang dibawa ke epitel permukaan menyebabkan terganggunya berbagai mekanisme sitoproteksi (produksi mukus dan bikar-
bonat, sawar mukosa yang utuh, regenerasi mukosa yang cepat). Di samping itu, kurangnya ion bikarbonat hidrogen yang dibawa dan ion hidrogen yang disingkirkan dari epitel permukaan
memudahkan terjadinyakerusakan mukosa. Mukosa duodenum lebih peka terhadap kurangnya aliran darah dibanding mukosa lambung. Sebaliknya, peningkatan aliran darah mukosa telah
terbukti dapat melindungi mukosa dari kerusakan zat-zat perusak seperti garam empedu dan aspirin.
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin)  dan  faktor-faktor  defensif (resistensi  mukosa)  pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan mukosa  lambung-duodenum.  Faktor-faktor  agresif  lainnya adalah garam empedu, obat-obat ulserogenik (aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid dosis tinggi), merokok, etanol, bakteria, leukotrien B4 dan lain-lain. Faktor-faktor yang merupakan mekanisme proteksi mukosa lambung-duodenum  adalah  sawar  mukus bikarbonat,  sawar mukosa,  aliran  darah  mukosa  dan  regenerasi  mukosa.  Mekanisme  proteksi  mukosa  lambung-duodenum  terhadap  kerusakan oleh faktor-faktor agresif ini disebut dengan istilah sitoproteksi.  Meskipun  mekanisme  sitoproteksi  ini  belum diketahui secara pasti, ada bukti bahwa prostaglandin endogen memegang peranan penting.

Mukus,  yang disekresi oleh sel-sel goblet dan  kelenjar Brunner, berupa gel kental yang lengket dan tidak larut dalam air, yang melapisi seluruh permukaan mukosa lambung-duodenum secara merata dengan ketebalan 5-10 kali tinggi sel mukosa. Fungsinya untuk memberikan perlindungan mekanis pada epitel lambung-duodenum, untuk mengurangi difusi ion hidrogen dan pepsin dari lumen. Mukus merupakan polimer yang mengandung 4 sub-unit glikoprotein. Degradasi mukus oleh pepsin atau  zat mukolitik menyebabkan lapisan mukus berkurang tebalnya. Sebaliknya, prostaglandin menambah tebal mukus. Ion bikarbonat disekresi oleh sel-sel epitel permukaan lambung dan duodenum proksimal, berdifusi melalui lapisan gel mukus ke arah lumen. Fungsinya untuk menetralkan asam lambung yang berdifusi masuk dari lumen. Akibatnya terdapat gradien pH dari lumen (pH 2) ke permukaan sel epitel (pH 7-8). Lapisan mukus dengan bikarbonat ini disebut sawar mukus bikarbonat.
Sawar mukosa terdiri dari membran apikal sel-sel epitel permukaan dan right-junction antar sel, yang ditutup dengar lapisan fosfolipid yang hidrofobik, sehingga merupakan sawar
yang tidak dapat ditembus oleh ion hidrogen dari lumen. Tetapi sawar ini bisa dirusak oleh berbagai zat seperti garam-garam empedu, obat-obat ulserogenik, alkohol dan lain-lain sehingga
ion  hidrogen  dapat  berdifusi  balik  dari  lumen  ke  jaringan mukosa  dan  menyebabkan  kerusakan  mukosa.  Regenerasi mukosa dimulai dari prolifersi sel di zone proliferatif yang
kemudian bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan sel-sel epitel permukaan yang rusak. Proses reepitelisasi ini berjalar dengan cepat asal terlindung dari suasana asam yang merusak
sel-sel tersebut.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan ulkus peptikum adalah :
1.    Menghilangkan rasa nyeri dan menyembuhkan ulkus.
2.    Mencegah  kambuhnya  ulkus  dan  mencegah  terjadinya komplikasi.
Berdasarkan  patofisiologinya,  terapi farmakologik  ulkus peptikum ditujukan untuk menekan faktor-faktor agresif dan/ atau memperkuat faktor-faktor defensif. Sampai saat ini pengobatan  ditujukan  untuk  mengurangi  asam  lambung,  yakni dengan cara menetralkannya dengan antasida atau mengurangi sekresinya dengan obat-obat antisekresi yakni :
1.    H2 bloker : simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin.
2.    Muskarinik bloker : pirenzepin.
3.    Penghambat pompa proton (H+/K+ ATPase) : omeprazol.
Oleh karena asam memecah molekul pepsinogen yang inaktif menjadi pepsin yang aktif serta memberikan pH yang dibutuhkan untuk aktivitas pepsin (aktivitas pepsin sangat menurun pada pH lebih dari 4 dan pepsin menjadi inaktif pada pH netral atau alkalis), maka dengan mengurangi asam, kedua faktor agresif yang utama ini (asam dan pepsin) dapat diatasi.
Akhir-akhir ini, pengobatan ulkus peptikum mulai ditujukan untuk memperkuat mekanisme defensif mukosa lambung duodenum, yakni dengan obat-obat sitoproteksi. Obat sitoproteksi bermula dari prostaglandin, didefinisikan sebagai obat yang dapat mencegah atau mengurangi kerusakan mukosa lambung atau duodenum oleh berbagai zat ulserogenik atau zat
penyebab nekrosis, tanpa menghambat sekresi atau menetralkan asam lambung. Jadi obat sitoproteksi dapat mencegah kerusakan mukosa lambung yang acid-mediated (misalnya aspirin) maupun yang acid-independent  (misalnya oleh alkohol). H2 bloker  tidak  termasuk  obat  sitoproteksi  yang  efektif  untuk mencegah kerusakan mukosa yang acid-mediateci. Selanjutnya akan dibahas berbagai obat sitoproteksi yang telah mapan  (established) efek sitoproteksinya pada manusia
maupun penggunaan kliniknya sebagai anti ulkus. Obat-obat ini dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1.    Analog prostaglandin (PG)
·         Analog PGE1: misoprostol, rioprostil.
·         Analog PGE2 : enprostil, arbaprostil, trimoprostil
2.    Non-prostaglandin, semuanya dengan proteksi lokal
·         Karbenoksolon
·         Sukralfat
·         Bismuth koloidal
·         Setraksat.

Analog prostaglandin
Karena konsep sitoproteksi berasal dari studi eksperimental yang mempergunakan prostaglandin, maka prostaglandin (PG) alamiah maupun sintetik menjadi prototip obat sitoproteksi. Oleh karena PG alamiah dipecah dalam waktu beberapa detik, maka dibuat PG sintetik (analog PG) yang cukup stabil agar dapat digunakan sebagai obat. Banyak analog PG yang telah disintesis, tetapi baru ada 5 analog PG yang telah diteliti manfaat kliniknya untuk pengobatan ulkus peptikum (lihat di atas) dan beberapa di antaranya telah dipasarkan (di luar negeri). Selain efek sitoproteksi (pada dosis kecil maupun besar), PG juga mempunyai efek antisekresi (pada dosis besar). Jadi PG pada dosis kecil hanya menimbulkan efek sitoproteksi dan antisekresi. Efek sitoproteksi PG berhubungan dengan besarnya dosis.
 Mekanisme sitoproteksi mencakup :
1)    PGE dan PGI meningkatkan aliran darah mukosa lambung duodenum (vasodilatasi, sedangkan GF2 vasokonstriksi).
2)    PGE meningkatkan sekresi mukus lambung-duodenum.   
3)    PGE meningkatkan sekresi bikarbonat lambung-duodenum (tidak semua PG).
4)    PGE  memperkuat  sawar  mukosa  lambung  duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa dan dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.
5)    PGE menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung), terutama dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi.
Dengan demikian terjadi proteksi zone proliferatif mukosaoleh PG, yang penting untuk regenerasi mukosa. Bila zone masih utuh, maka bila terjadi kerusakan sel-sel epitel permukaan (misalnya pada erosi), segera terjadi penggantian sel-sel barn hasil proliferasi sel-sel di zone tersebut yang kemudian bermigrasi ke permukaan. Tetapi bila zone ini telah rusak/tidak ada (mis. pada ulkus), mekanisme sitoproteksi PG tidak dapat menyembuhkan.
Hasil berbagai uji klinik menunjukkan bahwa :
1)     Analog PGE efektif untuk menyembuhkan ulkus bila digunakan dalam dosis tinggi, yakni dosis sitoproteksi dan anti sekresi, tetapi efektifitasnya umumnya inferior bila dibandingkan dengan H2 bloker, baik dalam mempercepat kesembuhan atau menghilangkan rasa nyeri, kecuali rioprostil yang mempunyai efektivitas sebanding dengan H2 bloker dan dapat diberikan sekali sehari.
2)     Dalam dosis rendah, yakni dosis yang diperkirakan mengurangi sekresi asam lambung, obat-obat ini memperlihatkan efek sitoproteksi, yakni dapat mencegah kerusakan dan mengurangi perdarahan mukosa lambung duodenum akibat pemberian alkohol, aspirin atau obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) lainnya; tetapi tidak efektif untuk menyembuhkan ulkus.
Untuk pencegahan kerusakan lambung inipun diperlukan dosis tinggi, yakni dosis anti ulkus agar mendapatkan hasil yang maksimal. Misalnya pada penggunaan misoprostol untuk mencegah terjadinya ulkus lambung akibat pemberian NS AID pada penderita asteo-artritis"), dosis anti ulkus 200 µg 4 x sehari menurunkan insiden ulkus lambung dari  21,7%  (pada kelompok plasebo) menjadi 1,7% dalam 3 bulan, sedangkan insidens ulkus lambung pada kelompok misoprosto1100 µg 4 x sehari masih 5,6%.
NSAID tampaknya lebih banyak disertai ulkus lambung daripada ulkus duodenum. Hal ini terlihat dari prevalensi ulkus lambung  pada  penderita  yang  menggunakan  NSAID  secara kronik  (terutama penderita artritis) yang sangat tinggi, yakni antara  9-22%, tetapi kurang konsisten dengan ulkus duode-num.
3)     Efek  samping  yang  sering  timbul  dengan  analog  PGE adalah diare (biasanya ringan dan hanya sementara), yang berhubungan dengan besamya dosis karena merupakan akibat efek PG meningkatkan sekresi cairan di usus halus. Insidens diare antara 5-34% dengan misoprostol dan antara 5-55% dengan enprostil pada dosis anti-ulkus. Rionrostil lebih jarang menimbulkan diare dibandingkan PG lainnya. PG juga menimbulkan nyeri abdomen (10-20%), mungkin akibat kerjanya meningkatkan kontraksi otot polos usus. Selain itu ada efek samping yang serius yakni misoprostol dapat menginduksi kontraksi uterus sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Enprostil juga meningkatkan kontraksi uterus, tetapi tidak menyebabkan aborsi pada dosis yang digunakan. Sedangkan rioprostil tampaknya tidak mempunyai efek kontraksi uterus, tetapi hal ini perlu
konfirmasi lebih lanjut.

Bahwa analog PG yang mempunyai efek sitoproteksi dan anti sekresi temyata tidak lebih efektif dibandingkan dengan H2 bloker  yang  hanya  mempunyai  efek  antisekresi  dalam  menyembuhkan ulkus, memang mengherankan; mungkin hal ini disebabkan oleh :
1)     Istilah sitoproteksi berasal dari percobaan pada tikus, dimana pemberian PG mencegah/mengurangi kerusakan epitel lambung dan mencegah stasis sirkulasi. Mencegah kerusakan tidak sama dengan proses penyembuhan. Proses penyembuhan membutuhkan  regenerasi  sel-sel  mukosa  yang  rusak,  dan proses ini berjalan dengan spontan dan cepat asal tidak terpapar pada suasana asam yang merusak sel-sel tersebut. Sedangkan pencegahan kerusakan mukosa oleh PG melalui hiperplasia sel-sel  mukosa  yang  sehat  dan  berbagai  mekanisme  lain  telah disebut sebelumnya. Tanpa aktivitas anti sekresi, tampaknya PG  tidak  dapat  mengaktifkan  proses  regenerasi  sel  yang dibutuhkan untuk penyembuhan ulkas. Ini berarti bahwa efek sitoproteksi dari PG tidak ikut berperan/minimal dalam proses penyembuhan ulkus sehingga penyembuhan ulkus oleh analog PG bergantung pada aktivitas anti sekresinya.
2)     Misoprostol dan enprostil adalah penghambat sekresi asam lambung  dengan  kekuatan  sedang.  Potensi  anti  sekresi misoprostol kira-kira sebanding dengan simetidin dan potensi
enprostil kira-kira terletak di antara simetidin dan ranitidin. Sedangkan  penyembuhan  ulkus  dan  hilangnya  rasa  nyeri tampaknya bergantung pada penghambatan asam lambung.
Oleh karena analog PG yang ada sekarang ini umumnya inferior dalam efektivitas (kecuali rioprostil) dan menimbulkan banyak efek samping (diare, nyeri abdomen, sifat abortifasien), maka analog PG yang sekarang ini tidal dapat menggantikan H2  bloker untuk menjadi pilihan utama untuk menyembuhkan ulkus peptikum.
Meskipun efek sitoproteksi tidak dapat diandalkan untuk penyembuhan  ulkus,  tetapi  dari  efek  ini  diharapkan 3  hal, yakni :
1)     Analog PG diharapkan berguna untuk mencegah kerusakan saluran cerna akibat pemberian obat ulserogenik secara kronik. Ini telah terbukti untuk misoprostol, yang ternyata bermanfaat untuk mencegah terjadinya ulkus lambung akibat pemberian NSAID pada penderita osteoartritis. Tetapi sebagaimana telahdisebutkan di atas, hasil yang terbaik diperoleh dengan dosis misoprostol sebagai anti ulkus". Untuk penggunaan ini, tidak diketahui apakah analog PG lebih efektif dibanding H2 bloker, karena belum ada perbandingan langsung. Tetapi, pada studi
eksperimental,  telah  ditunjukkan  bahwa  misoprostol  dalam dosis anti sekresi yang sebanding dengan simetidin ternyata jauh lebih efektif dalam mengurangi kerusakan lambung akibat pemberian etano180% intragastrik maupun pemberian tolmetin (suatu NSAIDY). Hal ini menunjukkan bahwa efek sitoproteksi dari analog PG juga ikut berperan dalam mencegah kerusakan lambung tersebut, di samping efek antisekresinya.
2)     Analog PG dapat memperpanjang masa remisi ulkus yang disembuhkan dengan obat ini. Masa remisi ulkus duodenum setelah sembuh dengan misoprostol dibanding dengan simetidin
dan hasil meta-analisis terlihat bahwa untuk penderita dengan ulkus yang kronik, masa remisinya tidak berbeda antara misoprostol dengan simetidin tetapi untuk penderita tanpa riwayat ulkus  sebelumnya,  masa  remisinya  lebih  panjang  dengan misoprostol dibanding dengan simetidin. Efek misoprostol terhadap masa remisi ulkus lambung belum jelas. Angka kekambuhan ulkus duodenum setelah rioprostil tidak berbeda bermakna dengan simetidin(20). Untuk enprostil, belum ada data mengenai efeknya terhadap masa remisi ulkus.
3)     Merokok diharapkan  tidak mempengaruhi penyembuhan ulkus oleh analog PG. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya ulkus, memperlambat penyembuhan ulkus dan mempercepat kāmbuhnya ulkus peptikum. Merokok tidak mempengaruhi sekresi asam basal lambung dan pepsin, tetapi meningkatkan sekresi akibat stimulasi dengan pentagastrin. Merokok menghambat sintesis PGE2 di mukosa lambung tetapi tidak mempengaruhi produksi PG di mukosa duodenum. Merokok nampaknya  mengurangi  efektivitas  obat-obat  antisekresi  tetapi tidak mempengaruhi efektivitas obat-obat sitoproteksi. Penyembuhan ulkus duodenum oleh misoprostol, umumnya tidak dipengaruhi oleh merokok. Demikian juga dengan penyembuhan ulkus duodenum oleh enprostil maupun rioprostil tampaknya juga tidak dipengaruhi oleh merokok. Diperkirakan pada perokok dengan ulkus duodenum, merokok menghambat penglepasan  PG  di  duodenum  terhadap  rangsangan  asam, meskipun produksi PG basal tidak dipengaruhi. Untuk penyembuhan ulkus lambung, pengaruh rokok tidak konsisten.
Selanjutnya untuk pengobatan jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus duodenum, enprostil dengan dosis setengah dari dosis untuk menyembuhkan ulkus  (35  µg malam hari) menghasilkan kekambuhan 2 kali lipat dari ranitidin setelah 1 tahun  (62% versus  29%). Tetapi pada dosis enprostil  70  µg malam hari (sama dengan dosis untuk menyembuhkan ulkus),
angka kekambuhan sama dengan ranitidin  (juga dalam dosis penyembuhan, 300 µg malam hari) setelah 6 bulan (29% vs 31%). Mengingat efek samping enprostil yang relatif tinggi, maka obat ini tidal dapat dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus.

Non prostaglandin :
Obat Sitoproteksi dengan Proteksi Lokal.
a.     Karbenoksolon, suatu derivat asam glikonizinat sintetik, adalah obat sitoproteksi dengan proteksi lokal yang pertama dipasarkan. Mekanisme kerjanya mencakup : stimulasi sekresi mukus, stabilisasi membran sel dan mempercepat regenerasi sel-sel epitel permukaan yang rusak mekanisme sitoproteksi, sebagian melalui peningkatan kadar PG di mukosa akibat penghambatan deaktivasinya), aktivasi anti peptik (sebagai yang membentuk sawar lokal). Dengan dosis 200-300 mg sehari, obat ini sebanding efektivitasnya dengan simetidin dalam mempercepat penyembuhan ulkus lambung dan duodenum. Tetapi efek samping sistemiknya (retensi garam dan air, edema, hipertensi, hipokalemia) yang potensial membahayakan menyebabkan obat ini sekarang telah ditinggalkan (obsolete).
b.     Sukralfat adalah garam aluminium dari sukrose sulfat. Pada suasana asam (perut kosong), obat ini membentuk pasta kental secara selektif mengikat pada ulkus  (berupa kompleks yang stabil  antara  molekul  obat  dengan  protein  pada  permukaan ulkus, yang tahan hidrolisis oleh pepsin) dan berlaku sebagai barier yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat juga mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah,  yakni (a)  melalui  pembentukan  PG  endogen  dan efek langsung meningkatkan sekresi mukus.
Efek sitoproteksi ini tidak memerlukan suasana asam.         Sukralfat sebanding efektivitasnya dengan simetidin dalam menyembuhkan  ulkus  lambung  maupun  ulkus  duodenum. Untuk ulkus duodenum, sukralfat (4 g/hari diberikan 4 x 1 g atau 2 x 2 g pada perut kosong) dan simetidin (1 g/hari atau 4 x 300 mg) memberikan kecepatan penyembuhan yang sebanding (> 70% setelah 4 minggu). Penyilangan penderita yang belum sembuh selama 4 minggu lagi, kembali memberikan laju kesembuhan  yang  tidak  berbeda (sekitar 70%).  Ini  menunjukkan bahwa  masing-masing  obat  dapat  menyembuhkan  sebagian besar penderita yang belum sembuh dengan obat sebelumnya. Kombinasi simetidin dengan sukralfat bersifat sinergistik dan mempercepat penyembuhan ulkus. Pada perokok, sukralfat memberikan laju kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan simetidin. Hal ini mungkin berkaitan dengan sifat sitoproteksi dari sukralfat. Di samping itu, penderita yang disembuhkan dengan simetidin lebih cepat kambuh dibanding penderita yang sembuh dengan sukralfat, demikian juga di antara penderita yang perokok. Pada umumnya masa remisi setelah pengobatan dengan sukralfat 2 x lebih panjang dibanding dengan simetidin. Hal ini mungkin berkaitan dengan efek sitoproteksi dari sukralfat.
Suatu studi lain yang meneliti angka kekambuhan pada penderita ulkus  duodenum,  prepilorus  dan  lambung  setelah  sembuh dengan simetidin atau sukralfat, ternyatā angka kekambuhan setelah 12 bulan tidak berbeda antara kedua obat, tetapi ada perbedaan  dalam  efek  merokok.  Merokok  mempengaruhi angka  kekambuhan  dan  masa  remisi  setelah  terapi  dengan simetidin,  tetapi  tidak  mempengaruhi  hasil  terapi  dengan sukralfat. Sukralfat 2 g sehari lebih efektif dari plasebo dan sebanding dengan simetidin untuk terapi jangka panjang mencegah icambuhnya ulkus duodenum.
Untuk ulkus lambung, sukralfat (4 g/hari, diberikan 4 x 1 g pada perut kosong) dan simetidin (1 g/hari atau 4 x 300 mg) memberikan kecepatan penyembuhan yang sebanding (sekitar 70-80% setelah 6-8 minggu). Sukralfat 2 g sehari (sekali malam hari) lebih efektif dari plasebo untuk mengurangi kambuhnya ulkus lambung.
Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) ternyata efektif untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung dan gejala-gejala saluran cema akibat penggunaan NSAID. Karena mengandung aluminium, sukralfat menyebabkan konstipasi ringan pada 2-10% penderita, dan dapat menimbulkan toksisitas aluminium pada penderita gagal ginjal. Kerugiannya yang utama adalah cara pemberiannya; biasanya 4 x sehari, terutama pada ulkus lambung, serta tidak diberikan bersama antasida ataupun makanan.
c.      Bismuth kolodial adalah garam bismuth koloidal dari asam sitrat. Seperti sukralfat, obat ini pada pH asam  (< 5) membentuk lapisan pelindung yang selektif di dasar ulkus (berupa kompleks bismuth glikoprotein) dan bertindak sebagai barier terhadap difusi asam, pepsin dan empedu. Obat ini juga mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui pembentukan PG endogen. Baru-baru ini ditemukan efek tambahan, yakni bakterisidal terhadap Campylobacter pylori, yang sering ditemukan di mukosa lambung (daerah antrum) dan metaplasia lambung di duodenum pada sebagian besar penderita ulkus peptikum (lebih banyak pada ulkus duodenum dari pada ulkus lambung), Kolonisasi C. pylori pada mukosa lambung berhubungan erat dengan gastritis, tetapi peranannya dalam etiologi ulkus belum jelas, karena :
(a) kuman tersebut jarang ditemukan pada ulkusnya sendiri;
(b)         kuman ini masih terdapat di daerah antrum dalam densitas yang sama dengan sebelum pengobatan walaupun ulkusnya telah sembuh dengan H2 bloker, sukralfat  atau anolog PGE; 
(c) setelah ulkus sembuh dan kuman ini dibasmi dengan garam bismuth, penderita tetap remisi meskipun C. pylori telah berkolonisasi kembali;
(d) sukralfat tidak mempengaruhi  kuman  ini,  tetapi  masa  remisinya  juga panjang. Salah satu kemungkinan mekanisme kerja C. pylori dalam menimbulkan gastritis dan ulkus peptikum adalah mencernakan lapisan mukus dengan enzim-enzim protease dan glikosilhidrolase yang dihasilkan oleh kuman ini.
Bismuth koloidal (120 mg 4 x sehari atau 240 mg 2 x sehari pada perut kosong) juga sebanding efektivitasnya dengan simetidin untuk menyembuhkan ulkus duodenum maupun ulkus lambung. Bahkan obat ini dapat menyembuhkan ulkus duodenum yang resisten terhadap simetidin 1,6g/hari. Di samping itu obat ini menghasilkan masa remisi yang lebih panjang setelah disembuhkan ulkus duodenumnya dibanding dengan H2 bloker. Hal ini dihubungkan dengan kemampuan garam bismuth ini untuk membasmi C. pylori, tetapi mungkin juga karena efek sitoproteksinya.
Merokok nampaknya tidak mempengaruhi angka kesembuhan ulkus peptikum yang diobati dengan bismuth koloidal.  Demikian juga angka kekambuhan setelah terapi dengan obat ini tampaknya tidak dipengaruhi oleh rokok. Bismuth bersifat neurotoksik (ensofalopati), terutama bila diberikan pada penderita dengan riwayat gagal ginjal. Selain itu dapat terjadi pewarnaan (hitam) pada lidah, gigi dan feses yang reversibel. Juga dapat terjadi konstipasi dan melena. Oleh karena itu, obat ini tidal( boleh digunakan dalam terapi jangka panjang. Obat ini diberikan 2-4 kali sehari, tidak boleh bersama antasida,  susu  ataupun  makanan,  selama  tidak  lebih  dari 8 minggu dan dengan interval minimal 2 bulan. Untuk eradikasi C. pylori, yang disertai dengan angka kekambuhan yang lebih rendah, obat ini harus diberikan 4 kali sehari.
d.     Setraksat, yang merupakan ester dari asam traneksamat, adalah salah satu obat untuk proteksi mukosa lambung yang bekerja lokal meningkatkan aliran darah mukosa atau memperbaiki mikrosirkulasi mukosa di tepi ulkus dan di mukosa yang bebas  ulkus.  Obat  ini  juga meningkatkan  pembentukan  PG endogen di mukosa, meningkatkan produksi mukus dan meng-
hambat difusi balik ion hidrogen sehingga menghambat konversi pepsinogen  menjadi  pepsin. Akibatnya  terjadi  percepatan regenerasi  sel-sel  mukosa,  dengan  demikian  percepatan  penyembuhan ulkus, mungkin akibat peningkatan suplai darah ke tepi ulkus.
Setraksat (200 mg 4 x sehari sesudah makan dan sebelum tidur atau 400 mg 2 kali sehari) lebih efektif dibanding dengan plasebo untuk penyembuhan ulkus lambung maupun duodenum dalam waktu 8 minggu. Kombinasi setraksat dan simetidin  lebih efektif dibanding simetidin saja untuk penyembuhan ulkus dalam waktu 4 maupun 8 minggu. Dalam dosis 200 mg 2-3 x sehari, setraksat lebih efektif dibanding dengan antasid atau plasebo untuk terapi jangka panjang untuk mencegah kambuhnya ulkus lambung maupun duodenum selama  6-13 bu1an.  Angka kekambuhan ulkus (lambung atau duodenum) setelah 6 bulan sembuh dengan setraksat lebih rendah dibandingkan dengan simetidin  (8% vs  17,2%) dan tidak berbeda bermakna dengan kombinasi simetidin dan setraksat (10,7%).
Setraksat (200 mg 4 x sehari) bersama antasid lebih efektif dibandingkan antasid saja untuk menyembuhkan gastritis akut (erosif dan hemoragik) dalam waktu  2 minggu. Setraksat
sendiri lebih cepat/lebih efektif untuk menyembuhkan gastritis akut maupun kronik dibanding antasid atau plasebo. Pemberian seraksat (200 mg 4 x sehari) bersama NSAID selama 2 minggu pada penderita osteoartritis ternyata dapat mengurangi kerusakan mukosa lambung maupun duodenum (hiperemi, erosi dan ulkus) akibat NSAID. Efek setraksat bermakna untuk lambung, tetapi tidak bermakna untuk duodenum.
Efek samping setraksat ringan dan praktis hanya berupa gangguan saluran cerna, yang paling sering hanyalah konstipasi ringan pada 1-2% penderita.
H2 bloker pada saat ini merupakan obat standar karena efektivitas, keamanan dan kepraktisan penggunaannya dalam terapi jangka panjang untuk mencegah kambuhnya ulkus.
Tetapi akhir-akhir ini pengobatan ulkus mulai ditujukan untuk memperkuat mekanisme defensif, yakni dengan obat-obat sitoproteksi.
Ada 2 kelompok yakni :
(1) Analog prostaglandin obat sitoproteksi dengan anti sekresi, yakni misoprostol, enprostil dan rioprostil, dan
(2) Non-prostaglandin (obat sitoproteksi dengan proteksi lokal), yakni sukralfat, bismuth koloidal dan setraksat. Untuk terapi jangka pendek menyembuhkan ulkus, hanya sukralfat, bismuth koloidal dan rioprostil yang sebanding dengan H2 bloker (sukralfat juga sebanding keamanannya), tetapi sukralfat dan bismuth tidak praktis penggunaannya.
Obat-obat sitoproteksi mempunyai keuntungan dibandingkan dengan H2 bloker, yakni memberi masa remisi yang lebih panjang (kelompok PG belum jelas) dan angka kesembuhan serta angka
kekambuhan yang tidak dipengaruhi oleh merokok (setraksat belum jelas). Kedua efek ini dikaitkan dengan sifat sitoproteksi (untuk bismuth koloidal dihubungkan juga dengan sifat bakte-
risidalnya terhadap Campylobacter pylori. Efek lain yang juga dikaitkan dengan sitoproteksi adalah efektivitas misoprostol, setraksat dan sukralfat untuk mengurangi kerusakan mukosa saluran  cerna,  terutama  lambung,  akibat  pemberian  kronik NSAID. Untuk terapi jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus, sukralfat dan setraksat sudah mapan penggunaannya. Garam bismuth tidak boleh dipergunakan karena toksisitasnya, sedangkan kelompok PG tampaknya tidak dianjurkan.
Analog PG  yang ada sekarang pada umumnya  inferior dibanding H2 bloker untuk terapi jangka pendek menyembuhkan ulkus, baik efektivitas (kecuali rioprostil) maupun efek sam-
pingnya; tetapi penyembuhan ulkus duodenum oleh analog PG tampaknya tidak dipengaruhi oleh merokok. Efek obat-obat ini pada masa remisi masih belum jelas. Sedangkan untuk terapi
jangka panjang, tampaknya analog PG tidak dapat dianjurkan. Tetapi analog PG efektif untuk mencegah/mengurangi kerusakan mukosa lambung oleh NSAID.
Setraksat sangat aman, tetapi efektivitasnya mungkin tidak sebaik H2 bloker, terutama untuk penyembuhan ulkus duodenum. Obat ini memberikan masa remisi yang lebih panjang dari H2 bloker, tetapi belum diketahui apakah efek terapinya dipengaruhi oleh merokok. Setraksat juga efektif untuk terapi jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus, untuk mempercepat penyembuhan gastritis dan untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung oleh NSAID. Obat ini diberikan 2-4 x sehari, tetapi tidak tergantung pada waktu makan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
1.   Efek sitoproteksi saja, tanpa adanya efek lain, tidak cukup untuk menyembuhkan ulkus.
2.   Efek sitoproteksi dapat memperpanjang masa remisi ulkus, tetapi untuk analog PG masih belum jelas.
3.   Efek sitoproteksi berguna bagi perokok, karena efek ini bisa  mengatasi efek merokok terhadap kesembuhan dan kekambuhan ulkus, tetapi untuk analog PG terhadap ulkus lambung tidak
jelas, sedangkan untuk setraksat tampaknya masih belum diteliti.
4.   Obat sitoproteksi berguna untuk mencegah atau mengurangi kerusakan lambung akibat pemberian kronik NSAID (kecuali garam bismuth). Meskipun untuk PG masih digunakan dosis sitoproteksi + anti sekresi, untuk hasil yang terbaik tampaknya efek sitoproteksinya ikut berperan.
5.   Obat sitoproteksi, karena mekanisme kerjanya yang berbeda, dapat digunakan untuk mengobati ulkus yang resisten terhadap H2 bloker (analog PG) dan setraksat (belum diketahui).
6.   Obat sitoproteksi, mengingat ketintungannya dalam memperpanjang remisi pada perokok, mungkin dapat dipikirkan untuk menjadi alternatif dari H2 bloker untuk menjadi pilihan pertama dalam pengobatan ulkus.
7.   Kombinasi obat terhadap faktor agresif dengan obat sitoproteksi diharapkan akan memberikan efek yang sinergistik dalam menyembuhkan ulkus. Ini telah terbukti pada kombinasi simetidin  dengan sukralfat dan kombinasi simetidin  dengan setraksat. Analog PGE yang ada sekarang tidak memberikan efek yang lebih baik karena efek sitoproteksinya mungkin tidak ikut berperan/minimal dalam proses penyembuhan ulkus.

KEPUSTAKAAN
1.   Sontag SI. Prostaglandins in peptic ulcer disease : An overview of current status and future directions. Drugs 1986; 32: 445-57.
2.   Mc Guigan JE. Peptic ulcer. Dalam : Petersdof RG, Adams RD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Martin JB, Wilson JD, ed. Harrison's Principles of Internal Medicine. Ed 10. New York : Mc Graw-Hill International, 1983 : 1697-712.
3.   Shorrock CJ, Rees RDW. Overview of gastroduodenal mucosal protections. Am J Med 1988; 84 (suppl 2A): 25-34.
4.   Bright-Azare  P,  Habte  T,  Yirgou  B,  Benjamin  J.  Prostaglandins,  H2 receptor antagonists and peptic ulcer disease. Drugs  1988;  35  (suppl  3): 1-9.
5.   Berardi RR. Future trends in the treatment of peptic ulcer disease. Pharm I 1986 (July): 168-72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar