Senin, 17 Oktober 2011

A I D S; PENYAKIT PRILAKU YANG MEMATIKAN; HINDARI PERZINAHAN

Artinya:”Dan janganlah dekati zina, sesungguhnya zina itu,perbuatan keji dan sejahat-jahat perjalanan/terkutuk”.(QS.Al-Isra’32)

Pendahuluan

Dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat hendaknya kita tidak menutup-nutupi kenyataan atau secara disamarkan. Penyuluhan yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya dalam bahasa yang sudah dimengerti,nilai budaya bangsa dan agama.
AIDS adalah penyakit kelamin yang mematikan.Mengapa mematikan?
Karena hingga sekarang belum di temukan obatnya.Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1980 pada kelompok homoseksual di Amerika Serikat hingga kini 1995 (15tahun) belum nampak tanda – tanda akan ditemukan penawarnya,bahkan para pakar menyatakan belum bisa menjamin dalam 10 tahun mendatang mereka mampu menemukan vaksin pencegahnya.
Mengapa disebut penyakit kelamin? Karena penularannya 90 % melalui kontak seksual diluar pernikahan (perzinaan), misalnya pelacuran, pergaulan bebas (free sex) dan perilaku homoseksual.penyakit AIDS ini adalah merupakan penyakit perilaku “life style” dan satu-satunya upaya pencegahan yang paling handal adalah dengan tidak melakukan perzinaan atau setia pada satu pasangan (“mutually faithful monogamy”,Mann,1993).atau dengan kata lain upaya yang paling efektif (100 %) bagi pencegahannya adalah dengan jalan menghindari pelacuran, pergaulan bebas (“free sex”) dan perilaku homoseksual.di Indonesia sebuh survey menyatakan 95,7 % penularan virus HIV melalui pelacuran (warta UI,95)

Pendekatan Agama Diragukan ?

Sebagian masyarakat kita masih meragukan mampukah pendekatan dari sudut moral etika agama mencegah penularan HIV/AIDS dapat di cegah, maka satu-satunya jalan adalah dengan menganjurkan kepada masyarakat Indoesia untuk melindungi dirinya dengan kondom! Lebih jauh mereka mengatakan belajarlah dari penglaman-pengalaman negara lain misalnya Australia,Thailand,dan Amerika dalam pencegahan HIV / ADIS maka kondomisasi adalah andalannya. Benarkah ? Bukankah dibalik program kondomisasi itu terdapat demoralisasi ?

  Saya setuju bahwa kita harus belajar dari pengalaman negara-negara lain, justru itulah letaknya. Mengapa banyak orang yang terjangkit HIV / AIDS  di Australia, Thailan dan Amerika dan negara-negara lainnya ?.   Karena masyarakat mereka permisif terhadap sex  pelacuran marak di mana-mana, pergaulan bebas telah membudanya demikian pula perilaku menyimpang  dengan dalih kebebasan sex dan Hak Asasi Manusia. Dengan dalih tersebut mereka “menghalalkan” kontak seksual denagn siapa saja di mana saja dan kapan saja sepanjang  tidak memperkosa dan menggauli anak kecil, tidak ada ketentuan harus menikah ?

Sebagaimana telah disebutkan dimuka (Mann,1993) bahwa AIDS adalah penyakit perilaku (“life style”).maka penyakit perilaku inilah yang harus dicegah,permisifisme terhadap seks sebagaimana dimasyarakat Barat yang harus dihindari. Kondomisasi yang mereka jalankan karena mereka seolah-olah ”tidak melihat “ada jalan lain yang lebih dan paling efektif, mereka “terbentur”dengan dalih kebebasan seks (“sex right”) dan HAM. kebebasan individu mereka junjung tinggi melebihi HAM masyarakat banyak. Masyarakat Barat adalah masyarakat individualistis, materiaistis dan sekuler. moral etika agama tidak mendapat tempat ditatanan masyarakat Barat. oleh Karnanya dapat dimengerti kalau mereka menkampanyekan kondom sebagai cara pencegahan HIV / AIDS.
Apakah tatanan sosial masyarakat Indonesa sama dengan Barat dan serta merta kita menirunya?
Kita sudah punya “modal” yaitu falsafah bangsa Pacasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta nilai moral etika budaya bangsa yang relijius sifatnya, masyarakat Barat tidak memiliki “modal”
Ini. Mengapa kita tidak menggunakan “modal” yang sudah kita miliki ini untuk kampanye pencegahan HIV / AIDS ketimbang kondomisasi? Di dalam Seminar Nasional Budaya Bangsa yang merupakan program bersama para cendekiawan agama yang tergabung dalam ICMI,ISKA,FCHI dan KCBI (10-13/XI/95) hal ini Dadang Hawari : semua umat beragama di Indonesia harus bersatu padu meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam upaya menangkal penyebaran HIV / AIDS.                                       Gerakan moral etika agama( Islam,Kristen,Katholik,Hindu dan Budha )harus digelar secara terus menerus, konsisten serta berkesinambungan guna menyelamatkan masyarakat dan bangsa dari kepunahan akibat penyakit maut AIDS, sebagai penyakit “peringatan Tuhan”. Bukankah tuhan telah berfirman : Dan janganlah dekati ziin,sesungguhnya zina itu perbuatan kaji dan sejahat-jaht perjalanan/terkutuk”.(QS.Al-Imran :32). Selanjutnya dalam surat Ar-Rum ayat 4,Allah SWT berfirnman yang artinya : ”telah nampak kerusakan didarat dan dilaudengan sebab perbuatan tangan-tangan manusia supaya Allah aan merasakan kepada mereka sebagian dari apa yang mereka perbuat, agar mereka kembali (ke jalan yang benar ).Sebuah hadis menyatakan :”Apabila perzinaan dan riba sudah melanda suatu negri,maka mereka (penghuninya) suddah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah”. (HR.At-Thabrani dan Hakim). Hadis lain menyatakan “Apabila perzinaan sudah meluas di masyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa), maka infeksi dan penyakit memtikan yang sebelumnya tidak terdapat pada zaman nenek moyangnya akan menyebar diantara mereka’’(Hr.IbnMajah,Al–Bajardan Baihaqi). Dalam hal pendekatan keagamaan  penulis percaya bahwa semua agama tidak membenarkan umatnya melakukan kontak seksual diluar nikah. Bukakah ajaran agama ini sesuai dengan temuan ilmiyah dalam penyebaran HIV / AIDS ? lalu mengapa ada orang yang tidak  melakukan perziaan bisa juga tertular HIV/AIDS, bukankah kalau demikian Tuhan tidak adil ? jawabannya adalah Rasulullah SAW menyatakan “apabila engkau jumpai kemungkaran diantara kamu dan kamu tidak mencegahnya serta tidak menggulanginya, maka dikhawatirkan apabila Allah menurunkaan adzab-Nya adzab itu bersifat menyeluruh”.(HR.At-Tirmidzi)
Masalahnya terpulang pada kita semua umat beragama, karena masih banyak dari kita yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan di dunia / bermasyarakat (dikotomi). Kalau kita benar – benar meyakini agama masing-masing kita anut dan prasarana pelacuran, gaya hidup pergaulan bebas (“free sex” dan homoseksualitas), maka Insya Allah kita akan selamat.Tetapi kalau kita tidak mampu dan tidak peduli, maka firman Allah akan berlaku atas diri kita dan kini telah   terbukti. Masyarakat dan bangsa kita belum terlambat serta jangan cepat “menyerah” dan “berputus asa” dalam upaya meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita masing-masing umat beragama ,SEBAB MESKIPUN MENGGUNAKAN KONDOM , PERZINAAN TETAP DIHARAMKAN DAN BUKAN MENJADI HALAL KARENANYA .
  Oleh Karena itu sudut pandang agama, perilaku seks yang sehat, aman, dan bertanggun jawab adalah yang halal, dan yang halal adalah MENIKAH.

Diskriminasi?

  Dalam hal memberikan pertolongan kepada penderita HIV / AIDS perlukah dilakukan “diskriminasi”? kembali alasan mereka adalah melakukan diskriminasi terhadap penderita HIV / AIDS adalah pelanggaran HAM  . Dalam hal diskriminasi hendaknya diletakkan pada proporsi yang wajar (proporsional). Sikap yang baik dan bijak adalah “Proaktif” dan bukannya “Reaktif”. Diskriminasi proporsional yang dimaksudkan disini adalah berdasarkan jenis penyakitnya. AIDS adalah penyakit yang menular dan termasuk dalam ketentuan UU Karantina. Oleh karena itu penderita AIDS perlu dirawat sebagaimana penderita penyakit lainnya, karena mereka adalah manusia seperti kita juga. Sekarang ini sudah banyak didirikan rumah sakit khusus misalkan di bangun RS khusus AIDS guna mengantisipasi masa depan.

  Penyakit AIDS adalah penyakit terminal, artinya akan berakhir dengan kematian.Di dalam konfersi tahunan “the American Psychiatric Association” tahun 1995 di Miami, USA  ada topik yang menarik antara lain pendekatan keagamaan terhadap penderita AIDS. Didalam penelitian yang telah dilakukan ternyata banyak pasien AIDS yang mengalami gangguan   kejiwaan (kecemasan dan depresi) serta mengalami “krisis spritual”. Karenanya peran Psikiater dan agamawan menjadi lebih penting. Pendekatan psikorelijius dikembangkan terhadap penderita-penderita penyakit terminal lainnya seperti kanker, AIDS, dan lain sebagainya.
  Bagaimanakah Konseling terhadap penyandang HIV positif ? Pendekatan keagamaan antara lain sebagai berikut : (1) Bagi mereka yang HIV positif karena perzinaan, agama mengajarkan segera bertaubat, sebuah hadis menyatakan “bertaubatlah kamu sebelum maut menjemputmu”. Bukankah Tuhan Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Sebagai konsekuensi taubat tersebut maka berjanjilah kepada Tuhan untuk tidak lagi melakukan perzinaan dan tidak menularkannya kepada orang lain. Tingkatkan keimanan dan ketakwaan serta amal kebajikan terhadap sesama.(2) Terhadap mereka yangg tertular HIV bukan karena perzinaan, misalnya melalui jarum suntik, transfusi ataupun lainnya, bertawakalah kepada Allah SWT. Karena apa yang di dalamnya adalah sebagai musibah, cobaan dan mereka sebenarnya merupakan korban dari orang lain yang nakal. Karena penyakit HIV / AIDS dipandang dari sudut agama sebagai pengingat Tuhan, maka bila manusia menyadarinya dan segera bertaubat kembali ke jalan yang benar, maka ampunan Tuhan terbuka lebar.
         Dalam hal diskriminasi hendaknya proporsional, perlakukan nama seperti penderita penyakit lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan bagi mereka rasanya tidak tepat perlakuan yang berlebihan apalagi diistimewakan.

 Kondom Aman ?

         Satu hal yang diakui oleh para pakar bahwa gangguan kondom tidak dapat menjamin 100% aman dari penularan HIV / AIDS, hanya mengurangi resiko. Dari hasil penelitian dikemukakan tingkat keamanan kondom 70 s/d 74 % (Mann,1993, Hiroshi Nakajima, Harvard AIDS Institute, 1995). Mengapa, karena tes Laboratorium dan kenyataan peraktek di lapangan berbeda. Ada sementara pihak mengatakan  kondom berpori-pori, ada juga karena terjadi kebocoran dll.
  Penelitian yang dilakukan oleh Lytle dkk (1992) ternyata penetrasi kondom oleh virus terdeteksi. Penyakit lain Carey dkk (1992) ternyata terhadap 89 kondom yang ditest ternyata 29 mengalami “kebocoran mikroskopis” (30 %). Dari semua penelitian yang dilakukan  diakui bahwa penggunaan kondom hanya mereduksi penulara, tetapi tidak dapat menghilangkan resiko penularan (“transaksi”) virus HIV / AIDS.
   Sebuah lapoan dari konfersi AIDS Asia-Afrika di Chiang Mai, Thailand (Sep/95) : bahwa berbeda dengan anggapan umum selama ini bahwa penggunaan kondom aman adalah tidak benar. Disebutkan bahwa “pori-pori” lateks bahan pembuat kondom berdiameter 1/60 mikron, sedangkan virus HIV besarnya 1/250 mikron, Jelas virus  HIV / AIDS masih leluasa menembusnya (Rep. I / X / 95). Sebuah laporan dari majalah  “Consumer Reports, menyatakan bahwa pemeriksaan dengan elektron mikroskop dapat dilihat “pori-pori” kondom yang 10 kali lebih besar dari virus HIV / AIDS (Rep.12 / XI / 95).

Penyuluhan yang benar

   Sebagaimana penulis utarakan dalam awal tulisan ini ,dalam hal penyuluhan pencegahan HIV / AIDS kepada masyarakat luas (awam) hendaknya kita tidak menutup-nutupi / menyampaikannya secara tersamar. Penyuluhan yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya  dalam bahasa yang sudah dimegerti , sesuai dengan temuan ilmiah nilai budaya bangsa dan moral etika agama. Terhadap pengidap HIV / AIDS kita sepakat untuk tidak melakukan tindakan “diskriminasi”, tetapi tidak pula  “mengistimewakannya”. Kita akui bahwa HAM individual, tetepi hendaknya  HAM individu jangan sampai “mengalahkan HAM masyarakat banyak.
  Adakah kondm pilihan utama ? Dr.Malcolnpotts, President Family Health International salah seorang pencipta kondom mengakui antara lain katanya : “Kami tidak dapat memberitahukan kepada khalayak ramai mengenai sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk kedalam kehidupan yang memilik resiko tinggi ini untuk memaki kondom, sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memang sabuk di lehernya. (Rep. 12/XI/95).
Seorang pakar AIDS lain, yaitu Dr.Richard Smith setelah bertahun tahun mengadakan penelitian terhadap ancaman AIDS dan menggunakan kondom . Ia mengancam  mereka yang telah menyebarkan “safe sex” dengan cara menggunakan kondom, sama saja mengundang kematian. Selanjutnya ia menetengahkan pendapat Agar resiko HIV / AIDS diberantas dengan cara menghindari seks di luar nikah. (Rep. 12 / XI / 95).
Sebagai kesimpulan dari uraian diatas, adalah bahwa:
1)     Penggunaan kondom bagi upaya pencegahan penularan / penyebaran          HIV / AIDS, tidak 100% menjamin untuk tidak tertular, hanya mengurangi resiko penularan.
2)     Menyebarluaskan penggunaan kondom adalah aman (“safe sex”) dalam perzinaan (hubungan seksual diluar nikah) adalah fatal, menyesatkan dan mengundang kematian.
3)     Upaya pencegahan penularan / penyebaran HIV / AIDS, yang paling efektif  dan handal adalah  dengan menghinadari hubungan seksual diluar nikah (misalnya pelacur, pergaulan bebas / ”free sex” dan perilaku homoseksual).
4)     Pemikiran dikotomis yang memisahkan pendekatan moral etika agama dengan pendekatan kesehatan / medis dengan dalih “kebebasan seks (“sex right”) dan HAM, tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia.
5)     Sarana dan prasarana yang menjurus pada perilaku seks bebas, serta pola hidup / perilaku seksual yang tidak sesuai dengan moral nilai budaya bangsa dan agama, hendaknya dapat dicegah dengan jalan meningkatkan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kalau tidak maka kita siap menanggung resikonya; yaitu”apabiala engkau menjumpai kemungkaran kamu dan kamu tidak mencegahnya  serta tidak menaggulanginya, maka dihawatirkan apabila kelak allah menurunkan adzab-Nya, adzab yang bersifat menyeluruh” (Hadis riwayat at-tirmidzi).      
              
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar