Jumat, 04 November 2011

Anemia Ringan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG 
Di seluruh dunia frekuensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi. Berkisar antara 10% dan 20%, karena defisiensi makanan memegang peranan yang sangat dipahami dalam timbulnya anemia. Maka dapat dipahami bahwa frekuensi ibu lebih tinggi lagi dibandingkan di negara-negara yang sedang berkembang, dibandingkan di negara-negara yang sudah maju (Prawirohardjo, 2002). 
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang, di negara miskin sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan (Prawirohardjo, 2001).
Frekuensi ibu hamil dengan anemia di Indonesia relatif tinggi yaitu 63,5%. Sedangkan di Amerika 6%, kekurangan gizi dan perhatian defesiensi ibu hamil di Indonesia (Prawirohardjo, 2001).
Menurut WHO kejadian anemia hamil berkisar antara 20% sampai 89% dengan menetapkan 11gr% sebagai dasarnya. Angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi, Hoo Swie Tjiong menemukan angka anemia kehamilan 3,8% pada Trimester I, 13,6% pada Trimester II dan 24,8% Trimester III Akrib Sukarman sebesar 40,1% dari Bogor. Bakta menemukan anemia hamil sebesar 50,7% di Puskesmas Kota Denpasar, sedangkan Sindu menemukan sebesar 33,4% di Puskesmas Mangloi, Simanjuntak menemukan bahwa sekitar 70% ibu hamil di Indonesia anemia kekurangan gizi (Ida Bagus Gde Manuaba, 1998).  
 
Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dari laki-laki karena terjadi menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50-80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30-40 mgr. Disamping itu kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan placenta. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemia (Ide Bagus Gde Manuaba, 1998).
  Jika persediaan makanan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami Hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume plasma 30-40%, yang puncaknya pada kehamilan 32-34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18% sampai 30%, dan hemoglobin sekitar 19%. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr% maka dengan terjadinya Hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan Hb ibu akan menjadi 9,5-10 gr% (Ide Bagus Gde Manuaba, 1998).
Dampak anemia pada kehamilan antara lain abortus, partus prematuritas, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, mudah terjadi infeksi, mola hidatidosa, hyperemesis gravidarum, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini (RPD) dan ancaman kompensasi kordis (Ide Bagus Gde Manuaba, 2002).
Terapi anemia defesiensi besi ialah dengan preparat besi oral atau parenteral terapi oral ialah dengan pemberian preparat besi : Fero sulfat, fero gluconat atau Na-Fero bisitrat pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebesar 1 gr% per-bulan, efek samping pada traktus gastroenteritis relatif kecil. Pada pemberian preparat Na-Fero bisitrat dibandingkan dengan fero sulfat.
Kini program pemerintah menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50 mg asam sulfat untuk profilaksis anemia. Pemberian preparat parenteral, yaitu 2 x 10 ml/IV pada gluteus, dapat meningkatkan Hb relatif lebih cepat yaitu      2 gr%. Pemberian parenteral ini mempunyai indikasi, intorelansi besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat dan kepatuhan yang buruk. Efek samping utama ialah reaksi alergi untuk mengetahuinya dapat diberikan dosis 0,5 cc/IM dan bila tak ada reaksi dapat diberikan seluruh dosis (Saifuddin Abdul Bari, 2002).
 
Selengkapnya disini :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar