Jumat, 28 Oktober 2011

Tanah Subur


Pengertian Tanah Subur
Berbicara tentang tanah subur, bukanlah merupakan hal baru. Jauh sebelum peradaban manusia berkembang, nenek moyang kita telah mengetahui arti tanah subur. Saat itu, manusia memenuhi kebutuhan hidup dengan cara berburu, menangkap ikan, dan mencari hasil hutan yang dapat dimakan. Dari pengalaman mereka hidup berpindah‑pindah (nomaden), diketahui bahwa tumbuhan penghasil bahan pangan tumbuh subur di tepi‑tepi sungai, di lembah‑lembah, di kaki perbukitan, di tempat‑tempat bekas timbunan serasah, bekas tumpukan kotoran binatang, dan sebagainya. Mereka menyadari bahwa, seperti halnya manusia dan binatang, tumbuhan pun memerlukan makan dan minum agar dapat hidup. Hanya saat itu mereka belum mengerti makanan apa, yang diperlukan; juga belum mengetahui bagaimana cara tumbuhan tersebut makan ataupun minum.
Setelah terpaksa untuk hidup menetap, mulailah mereka menanam tumbuhan penghasil pangan di sekitar pemukiman. Dari pengalaman “bercocok tanaman” musim ke musim, diketahui bahwa produksi terus berkurang; sehingga mereka harus berupaya agar produksi tetap tinggi. Mereka mencoba memberikan tanah yang diambil dari tepi sungai, atau bekas tumpukan sampah, atau bekas kotoran binatang; selain juga mereka melakukan pemberian air. Tindakan ini sebenarnya merupakan awal pembudidayaan tanaman dengan memperhatikan kesuburan tanah dan pemupukan.
Pengetahuan tentang kesuburan tanah dari waktu ke waktu terus bertambah, sejalan dengan perkembangan ilmu‑ilmu dasar, seperti : biologi, kimia, fisika, geologi, mineralogi, dan lain‑lain yang berkaitan. Namun dilemanya, hingga saat ini pengertian tentang “tanah subur” belum sepenuhnya dipahami dan dimengerti oleh kebanyakan petani ataupun masyarakat umumnya. Banyak petani beranggapan bahwa tanah mereka subur setelah diberi pupuk atau diolah di pihak lain masyarakat seringkali mengartikan tanah subur dengan produksi tinggi. Padahal, tanah subur tidak selalu menjamin produksi tinggi; karena masih ada faktor lain yang ikut menentukan. Ilustrasi dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa, produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dengan tanah subur, varietas unggul, iklim cocok, dan pengelolaan yang baik. Pengertian ini perlu dicamkan dalam praktek sehari‑hari.
Secara garis besar suatu tanah dikatakan subur bila sifat‑sifat kesuburan (fisik, kimia, dan biologis) mendukung pertumbuhan serta produksi tanaman; dengan catatan faktor‑faktor tanaman, iklim, dan pengelolaan tidak menjadi pembatas dan pada kondisi optimal. Dalam pemahaman sifat kesuburan tanah, pengertian tentang sifat‑sifat fisik, kimia dan biologi tanah ini penting diketahui.
Beberapa sifat fisik tanah yang seringkali dikaitkan dengan kesuburan, adalah: struktur, kemantapan agregat, daya pegang (retensi) air, drainase, aerasi, dan lain‑lain. Sifat‑sifat ini bertanggung jawab terhadap penyediaan udara dan air bagi pertumbuhan tanaman. Kecukupan unsur hara berkaitan dengan sifat kimia tanah, karena unsur hara yang dibutuhkan tanaman berupa unsur‑unsur kimia. Interaksi antara sifat fisik dan kimia dikenal sebagai sifat fisiko‑kimia, meliputi : reaksi tanah (pH), potensial reduksi­ oksidasi (Eh), kapasitas tukar kation (KTK), dan persentase kejenuhan basa (KB); seringkali dijadikan parameter kemampuan tanah dalam menyediakan medium dan unsur hara. Selanjutnya, sifat biologi tanah bertanggung jawab terhadap kehidupan jazad mikro maupun makro tanah. Keberadaan jazad‑jazad ini sangat penting dalam proses perombakan (dekomposisi dan mineralisasi) bahan organik, perubahan (transformasi) senyawa‑senyawa inorganik, berkaitan dengan siklus  perharaan dan ketersediaan unsur hara.

 Selengkapnya di sini :

1 komentar: