Pendahuluan
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan secara per oral dan sebagian besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa anak-anak[1].
Prevalensi H. pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Pada negara berkembang, prevalensi H. pylori pada anak berkisar antara 30-80% dan di negara maju diperkirakan sebesar 10%. Penelitian yang dilakukan oleh Hegar (1999) di Jakarta, prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27%[1-3]. Di Surabaya belum didapatkan data prevalensi yang pasti dari infeksi H.pylori.
Manifestasi klinis yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut dan lain-lain. Infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Karena gejala klinis yang tidak khas prevalensi tinggi dari penyakit ini, sehingga diagnosis pasti dari penyakit ini adalah berdasar pada biopsi[2-4].
Penegakan diagnosis dari infeksi Helicobacter pylori adalah dengan metode invasif dan non-invasif. Pemilihan jenis uji diagnostik sangat bergantung kepada keberadaan alat diagnostik pada suatu pusat pelayanan kesehatan, masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh pemeriksaan histologi, biakan, uji urease, dan PCR,
sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji C-urea napas[2-4].
sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji C-urea napas[2-4].
Kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam, maka bila sekresi asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan berkurang. Kenyataan ini dipakai sebagai acuan dalam upaya pemberantasan atau eradikasi kuman H. pylori ini[2-4].
Epidemiologi
H. pylori ini tidak berada di dalam mukosa gaster, tetapi terdapat pada lapisan mukus yang melapisi mukosa. Kuman ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Pada negara berkembang, 70-90% populasi pada gasternya terdapat kuman ini, dan sebagian besar mendapatkan infeksinya saat usia kurang dari 10 tahun. Sedangkan pada negara maju, prevalensi infeksi berkisar 25-50%. Prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi pada 150 murid Sekolah Dasar di Jakarta didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka yang mempunyai seropositif ditemukan H. pylori pada lambungnya[3]. Faktor risiko infeksi H. pylori di antaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasinya kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, adanya bayi di rumah, serta mereka yang sering terpajan dengan isi lambung orang yang terinfeksi H. pylori (misalnya perawat, ahli endoskopi). Frekuensi infeksi H. Pylori sama pada laki-laki dan perempuan[5-7].
Tidak ada reservoir lain untuk H. Pylori selain gaster manusia. Maka transmisi utama kuman ini adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia yang lain. Terdapat 3 kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oral-oral yaitu pada saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan terakhir adalah iatrogenik pada tube endoskopi yang mengandung kuman H pylori ini[4, 5, 7].
Morfologi
Helicobacter pylori adalah Gram-negatif, non spora, bisa curved atau spiral rod-shaped bakteri yang tumbuh secara microaerob, Organisme tersebut mempunyai 7 flagella. Organisme tersebut mempunyai ukuran kira-kira tebalnya 0.6 m. dengan panjang1.5 gelombang panjang (seperti terlihat pada gambar 1). Media yang dapat dipakai untuk kultur terdiri dari darah dengan atau tanpa selektif antibiotika. Helicobacter pylori dapat tumbuh dengan baik pada suhu 35-37°C, dan memproduksi enzyme catalase, cytochrome oxidase, urease, alkaline phosphatase and glutamyl transpeptidase. Mukosa lambung terlindung dari infeksi bakterial. Jumlah H. pylori yang tampak menunjukkan kemampuan adaptasi pada tempat tertentu misalnya pada gaster manusia yang sering ditemukan pada permukaan sel epitel dan lapisan mukus. Strain H.pylori dapat dikultur dari duodenum, cairan lambung, dental plague walaupun jarang dilakukan, dan feses[7, 8].
Patogenesis
Mukosa gaster sebenarnya sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Tetapi kuman H. pylori sangat pandai melakukan adaptasi terhadap hal ini, dengan caranya yang unik dapat masuk ke dalam lapisan mukus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel, evasi respon imun dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten[9-11].
Setelah masuk gaster, bakteri ini harus melawan aktivitas asam untuk masuk ke lapisan mukus. Langkah awal penting pada proses infeksi ini adalah motilitas bakteri dan pr i dapat menghidrolisa urea menjadi karbondioksida pylori dapat bertahan pada suasana asam. Aktivitas na diatur oleh UreI suatu pH-gated urea channel yang m dan tertutup saat netral[10].
H.pylori dapat terikat erat pada sel epitel dengan adanya beberapa komponen yang berada pada permukaan bakteri terutama BabA. Setelah melekat, sebagian besar strain H. pylori dapat memproduksi vacuolating cytotoxin (VacA, suatu eksotoksin). Toxin ini masuk ke dalam membran sel eptitel dan menyebabkan keluarnya bikarbonat dan anion organik yang
diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu VacA ini juga mempunyai terget pada membran mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis[9, 10].
diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu VacA ini juga mempunyai terget pada membran mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis[9, 10].
Sebagian besar strain H. pylori mempunyai cag pathogenicity island (cag-PAI), suatu fragmen genomic yang mempunyai 29 gen, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Setelah melekat pada sel epitel, cagA ini terfosforilasi dan menyebabkan terjadinya respon seluler dan produksi sitokin oleh sel epitel
gaster[9, 10, 12].
H. pylori menyebabkan continuous gastric inflammation pada setiap individu yang terinfeksi. Respon inflamatori ini terdiri dari rekrutmen netrofil yang kemudian diikuti oleh sel limfosit B dan T, sel plasma, makrofag dan kemudian terjadi rusaknya sel epitel. Sel epitel gaster yang terinfeksi oleh H. pylori terdapat peningkatan sitokin interleukin-1ß, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8 dan tumor necrosis factor. Interleukin-8 merupakan kemokin yang poten untuk aktivasi neutrofil. Infeksi H.pylori ini dapat menyebabkan pula terjadinya respon
humoral sistemik dan mukosa. Produksi antibodi ini tidak mengakibatkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian penderita dengan H. pylori mempunyai autoantibodi terhadap H+/K+-ATP-ase sehingga menyebabkan atrofi corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi ini apabila respon Th1 yang lebih dominan akan menyebabkan peningkatan produksi interleukin-18, dan ditambah dengan apoptosis akan mengakibatkan infeksi persisten H. pylori. Respon inflamasi ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini[9, 10, 13].
humoral sistemik dan mukosa. Produksi antibodi ini tidak mengakibatkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian penderita dengan H. pylori mempunyai autoantibodi terhadap H+/K+-ATP-ase sehingga menyebabkan atrofi corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi ini apabila respon Th1 yang lebih dominan akan menyebabkan peningkatan produksi interleukin-18, dan ditambah dengan apoptosis akan mengakibatkan infeksi persisten H. pylori. Respon inflamasi ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini[9, 10, 13].
Gejala Klinis
Penelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data yang dilaporkan menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Infeksi H.pylori pada anak lebih sering berhubung-an dengan gastritis dibanding ulkus peptikum. Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H.pylori dengan yang tidak terinfeksi H.pylori. Dengan menggunakan postulat Koch, saat
manusia menelan satu juta bakteri ini kemungkinan besar akan terjadi ulkus gaster, sehingga sejak saat itu banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama terhadap peranannya untuk menim-bulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas, penyakit tukak peptik dan kemungkinan perannya dalam perkembangan gastritis kronik ke arah karsinoma lambung[10, 11].
manusia menelan satu juta bakteri ini kemungkinan besar akan terjadi ulkus gaster, sehingga sejak saat itu banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama terhadap peranannya untuk menim-bulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas, penyakit tukak peptik dan kemungkinan perannya dalam perkembangan gastritis kronik ke arah karsinoma lambung[10, 11].
Manifestasi klinis infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Keluhan lain yang sering disampaikan oleh anak adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada malam hari, dan sering muntah. Sakit perut berulang pada anak
dianalogikan dengan dispepsia non-ulkus pada orang dewasa. Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H.pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H.pylori. 30% anak dengan sakit perut berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya, sedangkan hanya 10% anak yang ditemukan bakteri H.pylori di dalam korpusnya. Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi H.pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak dengan ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum. Data pada orang dewasa, ulkus peptikum diduga sebagai
penyebab adenokarsinoma lambung di kemudian hari. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorpsi dengan penurunan berat badan, gangguan pertum-buhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan mengalami keradangan lambung yang kronik dan menetap (“persistent”), namun pada sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang berarti[5, 14-16].
dianalogikan dengan dispepsia non-ulkus pada orang dewasa. Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H.pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H.pylori. 30% anak dengan sakit perut berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya, sedangkan hanya 10% anak yang ditemukan bakteri H.pylori di dalam korpusnya. Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi H.pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak dengan ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum. Data pada orang dewasa, ulkus peptikum diduga sebagai
penyebab adenokarsinoma lambung di kemudian hari. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorpsi dengan penurunan berat badan, gangguan pertum-buhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan mengalami keradangan lambung yang kronik dan menetap (“persistent”), namun pada sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang berarti[5, 14-16].
Diagnosis Metode Non Invasif
Tes Serologi merupakan teknik non-infasif pertama yang dipakai untuk mendeteksi anti H.pylori IgG pada serum penderita. Adanya Infeksi mukosa lambung karena H. Pylori terjadi peningkatan specific kadar IgG and IgA dalam serum and Peningkatan kadar secretory IgA and IgM dalam perut. Uji serologi sudah banyak digunakan oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan. Yang penting dari hal tersebut adalah dengan tes ini kita dapat mendeteksi paparan bakteri ke host tetapi kita tidak dapat mendeteksi secara pasti adanya infeksi
yang sedang berlangsung. Kadar antibodi menetap dalam darah dalam jangka waktu panjang sehingga meskipun infeksi H.pylori sudah diobati. Hasil uji serologi tergantung dari antigen H.pylori yang digunakan pada pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada uji tersebut. Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan menggunakan spesimen
urin. Hasil yang diperolehpun sangat akurat, sehingga sangat berguna untuk penapisan infeksi H.pylori[13, 18].
yang sedang berlangsung. Kadar antibodi menetap dalam darah dalam jangka waktu panjang sehingga meskipun infeksi H.pylori sudah diobati. Hasil uji serologi tergantung dari antigen H.pylori yang digunakan pada pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada uji tersebut. Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan menggunakan spesimen
urin. Hasil yang diperolehpun sangat akurat, sehingga sangat berguna untuk penapisan infeksi H.pylori[13, 18].
Selain itu, telah ditemukan pula cara mendeteksi antibodi H. pylori di dalam air liur, tetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini masih dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan 70-82%. Tes antibodi pada saliva dan urine merupakan salah satu noninvasif tekhnik untuk mendeteksi H.pylori infeksi[17-19].
Uji C-urea nafas didasarkan pada kenyataan bahwa kuman H.pylori memproduksi urease. Urease adalah enzym yang memecah urea menjadi ammonia dan CO2. Urea dengan label C13 atau C14 dimakan oleh penderita dan menyebar melalui mukosa menuju pembuluh darah yang mensupply mukosa dan H.pylori. Ketika sudah mendekati epitel pembuluh darah yang mensupply mukosa beberapa menit kemudian isotop carbondioksida akan tampak pada pernafasan. Uji C-urea napas merupakan uji diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama dan dapat digunakan sebagai evaluasi terapi. Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-100%[17, 20].
Stool antigen test adalah pemeriksaan enzimatik (ELISA) yang dapat mengidentifikasikan antigen H pylori pada feses. Stool antigen test terdiri dari metode poliklonal and monoklonal untuk mendeteksi infeksi juga untuk monitoring pasca terapi H.Pylori . Keuntungan pemeriksaan Stool antigen adalah membedakan infeksi aktif H.pylori dengan paparan, pemeriksaan noninvasif, penderita lebih nyaman lebih murah daripada metode lain, mendeteksi antigen secara langsung, dapat digunakan sebagai alat untuk monitoring sebelum dan sesudah terapi dan akurasi lebih >95%[21].
Metode invasif
Pemeriksaan endoskopi direkomendasi untuk dikerjakan pada kasus dengan gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi. Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Endoskopi UGI dengan biopsi masih merupakan baku emas diagnosis H.pylori. Pemeriksaan histopatologi yang dilakukan pada infeksi H. pylori sering dihubungkan dengan
gastritis kronis superfisial. Hal ini ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang baik mononuklear maupun neutrofil pada sel epitel. Inflamasi yang terjadi bervariasi mulai dari infiltrasi minimal lamina propria sampai inflamasi hebat dengan terbentuknya mikroabses dan reactive epithelial atypia. Inflamasi yang terjadi pada anak lain dengan yang terjadi pada dewasa, pada pemeriksaan endoskopi didapatkan lapisan mukosa dengan granular-granular halus atau nodul-nodul yang apabila dilihat dengan mikroskop berhubungan dengan hiperplasia
limfonodular terutama di daerah antrum. Dengan pemeriksaan histopatologi dapat dikenali pula morpfologi H.pylori. Sensitifitas histologi secara umum 90-95%. Jika biopsi dilakukan pada posisi lebih kurang 2-3 cm dari kurvatura lambung menunjukkan hasil positif lebih dari 90%. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi untuk membuktikan adanya H. Pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4minggu setelah terapi selesai[22, 23].
gastritis kronis superfisial. Hal ini ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang baik mononuklear maupun neutrofil pada sel epitel. Inflamasi yang terjadi bervariasi mulai dari infiltrasi minimal lamina propria sampai inflamasi hebat dengan terbentuknya mikroabses dan reactive epithelial atypia. Inflamasi yang terjadi pada anak lain dengan yang terjadi pada dewasa, pada pemeriksaan endoskopi didapatkan lapisan mukosa dengan granular-granular halus atau nodul-nodul yang apabila dilihat dengan mikroskop berhubungan dengan hiperplasia
limfonodular terutama di daerah antrum. Dengan pemeriksaan histopatologi dapat dikenali pula morpfologi H.pylori. Sensitifitas histologi secara umum 90-95%. Jika biopsi dilakukan pada posisi lebih kurang 2-3 cm dari kurvatura lambung menunjukkan hasil positif lebih dari 90%. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi untuk membuktikan adanya H. Pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4minggu setelah terapi selesai[22, 23].
Biakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari jaringan biopsi lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% oksigen dengan 5-10% CO2) dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan
untuk kepentingan penelitian. Biakan mempunyai dua keuntungan yaitu kegunaan utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Kegunaan lain adalah mengisolasi bahan dengan menggunakan kultur . Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin
diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali[18, 23].
untuk kepentingan penelitian. Biakan mempunyai dua keuntungan yaitu kegunaan utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Kegunaan lain adalah mengisolasi bahan dengan menggunakan kultur . Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin
diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali[18, 23].
Gastric Biopsi test didasarkan pada aktivitas enzim urease yang memecah reagen urea tes untuk membentuk amonia. Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsi lambung akan memperlihatkan perubahan warna media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat dicernanya urea oleh urease dan perubahan tersebut dilihat dengan adanya indikator yaitu perubahan phenol red. Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostik cara ini dapat ditingkatkan dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan biopsi berkurang pada pasien yang mendapat proton pump inhibitor (PPI), antibiotik, atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri, berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, dianjurkan untuk dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung. CLO test (gel test) dikembangkan oleh Marshall, merupakan biopsy urease yang pertama kali yang spesifik untuk H.pylori. CLO tes terdiri dari agar gel yang terdiri dari phenol red dan urea. Tes dapat diinterpretasikan lebih dari 24 jam setelah gastric biopsy ditempatkan pada agar gel. Ada dua tes yang sejenis yaitu Hp fast (gel test) dan PyloriTek (Paper test). Dari keseluruhan alat pemeriksaan mempunyai sesitivitas 88-93% dan dengan spesifisitas 99-100%[18, 23, 24]
Polymerase chain reaction merupakan teknik laboratorium yang secara in vitro dapat memproduksi rantai DNA spesifik dalam jumlah yang besar.Spesimen dari PCR dapat diambil dari spesimen biopsi, asam lambung, saliva. Pemeriksan ini dapat mendeteksi strain typing H. Pylori dan menghitung jumlah bakteri dalam jaringan biopsi. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini tinggi. PCR tidak digunakan secara rutin, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan penelitian. PCR juga dapat digunakan untuk menentukan strain H.pylori atau resistensi obat yang digunakan untuk eradikasi infeksi H.pylori, dan virulensi bakteri[24].
Kapankah tes-tes diagnostik ini sebaiknya dilakukan ? North American Study for Pediatric Gastroenterology and Nutrition merekomendasikan bahwa pada anak dengan ulkus peptikum yang terdiagnosa secara endoskopi maupun radiologi, MALT lymphoma, dan untuk follow-up therapy sebaiknya dilakukan tes untuk mendeteksi adanya H. Pylori ini. Sedangkan pada anak dengan resiko tinggi infeksi tetapi asimtomatik, nyeri perut yang tidak berhubungan ulkus peptikum, dan riwayat keluarga dengan kanker gaster tidak direkomendasikan untuk dilakukan tes-tes diagnostik ini secara rutin[25].
TERAPI
Pada tahun 1999 North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,Nutrition (NASPGHAN) dan European Society for Pediatric Gastroenterology,Hepatology, Nutrition (ESPGHAN) memformulasikan guideline untuk manajemen H pylori infeksi pada anak[25, 26]
North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, Nutrition (2000) mencoba merekomendasikan terapi untuk infeksi H.pylori yang digunakan selama 14 hari[25].
Pada beberapa penelitian telah banyak dilaporkan terjadinya resistensi terhadap clarithromycin dan metronidazole. Resistensi terhadap clarithromycin adalah akibat mutasi terhadap gen 23S ribosom, sedangkan resistensi terhadap metronidazole lebih heterogen penyebabnya. Apabila resisten terhadap clarithromycin saat dilakukan tes sensitifitas, dikatakan clarithromycin sama sekali tidak dapat digunakan, tetapi apabila resisten terhadap metronidazole, obat ini masih dapat digunakan[27-31].
KEPUSTAKAAN
- Logan, R. and M. Walker. ABC of the upper gastrointestinal tract: epidemiology and diagnosis of Helicobacter pylori infection. Br Med J 2001; 323: 920-2.
- Ortiz, D., et al. Prevalence of Helicobacter pylori Infection in Warao Lineage Communities of Delta Amacuro State, Venezuela. Mem Inst Oswaldo Cruz 2003; 98(6): 721-25.
- Hegar, B. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Sari Pediatri 2000; 2(2): 82 - 89
- Caroll, M. Helicobacter pylori Infection. 2002; Available from: http://www.emedicine.com/ped/Gastroenterology.html [cited 28/12/2005]
- Crone, J. and B.D. Gold. Helicobacter pylori Infection in Pediatrics. Helicobacter 2004; 9: 49-56.
- Ertem, D., H. Harmanci, and E. Pehlivanoglu. Helicobacter pylori infection in Turkish preschool and school children: role of socioeconomic factor and breast feeding. Turkish J Pediatr 2003; 45: 114-22.
- Marshall, B. Helicobacter pylori: 20 years on. Clin Med JRCPL 2002; 2: 147-52.
- Amieva, M.R. Important Bacterial Gastrointestinal Pathogens in Children: A Pathogenesis Perspective. Pediatr Clin North Am 2005; 52: 749-77.
- Dunn, B.E., H. Cohen, and M.J. Blaser. Helicobacter pylori. Clin Microbiol Rev 1997; 10: 720-41.
- Suerbaum, S. and P. Michetti. Helicobacter pylori infection. N. Engl J Med 2002; 347: 1175-86.
- Czinn, S.J., FAAP, and FACG. Helicobacter pylori infection: detection, investigation and management J Pediatr 2005: S21-26.
- Yahav, J., et al. Relevance of CagA Positivity to Clinical Course of Helicobacter pylori Infection in Children. J. Clin Microbiol 2000; 38(10): 3534-37.
- Rocha, G.A., et al. Immunoblot Analysis of Humoral Immune Response to Helicobacter pylori in Children with and without Duodenal Ulcer. J Clin Microbiol 2000; 38: 1777-81.
- Ganga-Zandzou, P.S., et al. Natural Outcome of Helicobacter pylori Infection in Asymptomatic Children: A Two-year Follow-up Study. Pediatrics 1999; 104: 216-21.
- Kalach, N., et al. Helicobacter pylori Infection Is Not Associated With Specific Symptoms in Nonulcer-Dyspeptic Children. Pediatrics 2005; 115: 17-21.
- Barabino, A. Helicobacter pylori-Related Iron Deficiency Anemia: A Review. Helicobacter 2002; 7: 71-75.
- Sabbi, T., et al. Efficacy of Noninvasive Tests in the Diagnosis of Helicobacter pylori Infection in Pediatric Patients. Am. Med Association 2005; 159: 238-41.
- Vakil, N. and A.M. Fendrick. How to test for Helicobacter pylori in 2005.Cleveland Clin J Med 2005; 72: 508-14.
- Tiwari, S.K., et al. Rapid diagnosis of Helicobacter pylori infection in dyspeptic patients using salivary secretion: a non-invasive approach. Singapore Med J 2005; 46(5): 224-28.
- Megraud, F. Comparison of Non-Invasive Test to Detect Helicobacter Pylori Infection in Children and Adolescents: Result of A Multicenter European Study. J Pediatr 2005; 146: 198-203.
- Elitsur, Y. Helicobacter Pylori Diagnostic Tool: Is It In the Stool. J Pediatr 2005: 164-67.
- Sherman, P.M. Appropriate Strategies for Testing and Treating Helicobacter pylori in Children: When and How? N. Engl J Med 2004; 117: 30S-35S.
- Vaira, D., et al. Review article: diagnosis of Helicobacter pylori infection.Aliment Pharmacol Ther 2002; 16: 16-23.
- Hino, B., et al. Comparison of invasive and non invasive test diagnosis and monitoring of Helicobacter infection in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2004; 39: 519-23.
- Gold, B.D., et al. Helicobacter pylori Infection in Children: Recommendations for Diagnosis and Treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 31: 490-97.
- Malfertheiner, P., et al. Current concepts in the management of Helicobacter pylori infection-The Maastricht 2-2000 Consensus Report. Aliment Pharmacol Ther. 2002; 16: 167-80.
- Dupont, C., N. Kalach, and J. Raymond. Helicobacter pylori and Antimicrobial Susceptibility in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003; 36: 311-13.
- Faber, J., et al. Treatment Regimens for Helicobacter pylori Infection in Children: Is In Vitro Susceptibility Testing Helpful? J Pediatr Gastroenterol Nutr 2005; 40: 571-74.
- Houben, M.H.M.G., et al. A systematic review of Helicobacter pylori eradication therapy the impact of antimicrobial resistance on radication rates. Aliment Pharmacol Ther. 1999; 13: 1047-55.
- Kalach, N., et al. Helicobacter pylori in Children: Acquisition of Antimicrobial Resistance after an Initial Course of Treatment. J Clin Microbiol 2001; 39: 3018-19.
- Lopes, A.I., et al. Antibiotic-Resistant Helicobacter pylori Strains in Portuguese Children. Pediatr. Infect Dis J 2005; 24: 404-09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar