Selasa, 07 Februari 2012

Infeksi HICOBACTER PYLORI


Pendahuluan
Helicobacter  pylori  adalah  bakteri  yang  dapat  berkoloni  pada  saluran cerna  manusia  dan  merupakan  salah  satu  penyebab  ulkus  duodenum  dan gaster, atau salah satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan secara per oral dan sebagian besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa anak-anak[1].
Prevalensi  H.  pylori  di  negara  berkembang  dilaporkan  lebih  tinggi dibanding negara maju. Pada negara berkembang, prevalensi H. pylori pada anak berkisar antara  30-80% dan di negara maju diperkirakan sebesar  10%. Penelitian yang dilakukan oleh Hegar  (1999) di Jakarta, prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27%[1-3]. Di Surabaya belum didapatkan data prevalensi yang pasti dari infeksi H.pylori.
Manifestasi  klinis  yang  sering  terjadi  adalah  gangguan  saluran  cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut dan lain-lain. Infeksi H. pylori pada anak  sebagian  besar  asimtomatis  atau memperlihatkan  gejala  saluran  cerna  yang tidak spesifik. Karena gejala klinis yang tidak khas prevalensi tinggi dari penyakit  ini, sehingga diagnosis pasti dari penyakit ini adalah berdasar pada biopsi[2-4].
Penegakan  diagnosis  dari  infeksi  Helicobacter  pylori  adalah  dengan  metode invasif dan non-invasif. Pemilihan jenis uji diagnostik sangat bergantung kepada  keberadaan  alat  diagnostik  pada  suatu  pusat  pelayanan  kesehatan, masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh pemeriksaan histologi, biakan, uji urease, dan PCR,
sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji C-urea napas[2-4].
Kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam, maka bila sekresi asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan   berkurang.   Kenyataan   ini   dipakai   sebagai   acuan   dalam   upaya pemberantasan atau   eradikasi kuman H. pylori ini[2-4].
Epidemiologi
H. pylori ini tidak berada di dalam mukosa gaster, tetapi terdapat pada lapisan mukus yang melapisi mukosa. Kuman ini ditemukan hampir di seluruh dunia.  Pada  negara  berkembang,  70-90%  populasi  pada  gasternya  terdapat kuman ini, dan sebagian besar mendapatkan infeksinya saat usia kurang dari 10 tahun.  Sedangkan  pada  negara  maju,  prevalensi  infeksi  berkisar 25-50%. Prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi pada 150 murid Sekolah Dasar di Jakarta didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka yang mempunyai seropositif ditemukan H. pylori pada lambungnya[3].    Faktor risiko infeksi H. pylori di antaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah,  lingkungan  yang  padat  dan  sanitasinya  kurang  bersih,  hidup  dalam keluarga  besar,  adanya  bayi  di  rumah,  serta  mereka  yang  sering  terpajan dengan  isi  lambung  orang  yang  terinfeksi  H.  pylori (misalnya  perawat,  ahli endoskopi). Frekuensi infeksi H. Pylori sama pada laki-laki dan perempuan[5-7].
Tidak  ada  reservoir  lain  untuk  H.  Pylori  selain  gaster  manusia.  Maka transmisi utama kuman ini adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia yang lain. Terdapat 3 kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oral-oral yaitu pada saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan terakhir adalah iatrogenik pada tube endoskopi yang mengandung kuman H pylori ini[4, 5, 7].

Morfologi
Helicobacter  pylori  adalah  Gram-negatif,  non  spora,  bisa  curved  atau spiral rod-shaped bakteri yang tumbuh secara microaerob, Organisme tersebut mempunyai 7 flagella. Organisme tersebut mempunyai ukuran kira-kira   tebalnya 0.6   m. dengan panjang1.5 gelombang panjang (seperti terlihat pada gambar 1). Media  yang  dapat  dipakai  untuk  kultur  terdiri  dari  darah  dengan  atau  tanpa selektif antibiotika. Helicobacter pylori dapat tumbuh dengan baik pada suhu 35-37°C, dan memproduksi enzyme catalase, cytochrome oxidase, urease, alkaline phosphatase  and  glutamyl  transpeptidase.  Mukosa  lambung  terlindung  dari infeksi  bakterial.  Jumlah  H.  pylori  yang  tampak  menunjukkan  kemampuan adaptasi  pada  tempat  tertentu  misalnya  pada  gaster  manusia  yang  sering ditemukan pada   permukaan sel epitel dan lapisan mukus. Strain H.pylori dapat dikultur  dari  duodenum,  cairan  lambung,  dental  plague  walaupun  jarang dilakukan, dan feses[7, 8].
Patogenesis
Mukosa gaster sebenarnya sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Tetapi kuman H. pylori sangat pandai melakukan adaptasi terhadap hal ini, dengan  caranya yang unik dapat masuk ke dalam lapisan mukus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel, evasi respon imun dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten[9-11].
Setelah masuk gaster, bakteri ini harus melawan aktivitas asam untuk masuk ke lapisan mukus. Langkah awal penting pada proses infeksi ini adalah motilitas  bakteri  dan  pr    i  dapat menghidrolisa  urea menjadi karbondioksida        pylori dapat bertahan pada suasana asam. Aktivitas   na diatur oleh UreI suatu pH-gated urea channel yang  m dan tertutup saat netral[10].
H.pylori  dapat  terikat  erat  pada  sel  epitel  dengan  adanya  beberapa  komponen  yang  berada  pada  permukaan  bakteri  terutama  BabA.  Setelah  melekat,  sebagian  besar  strain  H.  pylori  dapat  memproduksi  vacuolating cytotoxin (VacA,  suatu  eksotoksin).  Toxin  ini  masuk  ke  dalam  membran  sel eptitel  dan  menyebabkan  keluarnya  bikarbonat  dan  anion  organik  yang
diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu VacA ini juga mempunyai terget pada  membran mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis[9, 10].
Sebagian besar strain H. pylori mempunyai cag pathogenicity island (cag-PAI), suatu fragmen genomic yang mempunyai  29 gen, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Setelah melekat pada sel epitel, cagA ini terfosforilasi dan menyebabkan  terjadinya  respon  seluler  dan  produksi  sitokin  oleh  sel  epitel
gaster[9, 10, 12].
H.  pylori  menyebabkan  continuous  gastric  inflammation  pada  setiap individu yang terinfeksi. Respon inflamatori ini terdiri dari rekrutmen netrofil yang kemudian diikuti oleh sel limfosit B dan T, sel plasma, makrofag dan kemudian terjadi rusaknya sel epitel. Sel epitel gaster yang terinfeksi oleh H. pylori terdapat peningkatan sitokin interleukin-1ß, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8 dan tumor  necrosis  factor.  Interleukin-8  merupakan  kemokin  yang  poten  untuk aktivasi neutrofil. Infeksi H.pylori ini dapat menyebabkan pula terjadinya respon
humoral  sistemik  dan  mukosa.  Produksi  antibodi  ini  tidak  mengakibatkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian penderita dengan  H.  pylori  mempunyai  autoantibodi  terhadap  H+/K+-ATP-ase  sehingga menyebabkan atrofi corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi ini apabila respon Th1 yang lebih dominan akan menyebabkan peningkatan produksi interleukin-18, dan ditambah dengan apoptosis akan mengakibatkan infeksi persisten H. pylori. Respon inflamasi ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini[9, 10, 13].
Gejala Klinis
Penelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data yang dilaporkan menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis  atau  memperlihatkan  gejala  saluran  cerna  yang  tidak  spesifik. Infeksi H.pylori pada anak lebih sering berhubung-an dengan gastritis dibanding ulkus peptikum. Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H.pylori dengan yang tidak terinfeksi H.pylori. Dengan menggunakan postulat Koch, saat
manusia menelan satu juta bakteri ini kemungkinan besar akan terjadi ulkus  
gaster,  sehingga  sejak  saat  itu  banyak  peneliti  yang  kemudian  menaruh  perhatian besar pada kuman ini, terutama terhadap peranannya untuk menim-bulkan  inflamasi  pada  saluran  cerna  bagian  atas,  penyakit  tukak  peptik  dan kemungkinan perannya dalam perkembangan gastritis kronik ke arah karsinoma lambung[10, 11].
Manifestasi klinis infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Keluhan lain yang sering disampaikan oleh anak adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada  malam  hari,  dan  sering  muntah.  Sakit  perut  berulang  pada  anak
dianalogikan   dengan   dispepsia   non-ulkus   pada   orang   dewasa.   Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H.pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H.pylori.        30% anak dengan sakit perut berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya, sedangkan hanya 10% anak yang ditemukan bakteri H.pylori di dalam korpusnya. Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila   ditemukan   perlu   dipikirkan   kemungkinan   adanya   infeksi   H.pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak dengan ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum. Data pada orang dewasa, ulkus peptikum diduga sebagai
penyebab adenokarsinoma lambung di kemudian hari. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorpsi dengan penurunan berat badan,  gangguan  pertum-buhan,  anemia  defisiensi  besi,  diare  berulang,  dan malnutrisi.  Semua  individu  yang  terkena  infeksi  kuman  ini  akan  mengalami keradangan  lambung  yang  kronik  dan  menetap (“persistent”),  namun  pada sebagian  besar  kasus  tampaknya  tidak  menimbulkan  morbiditas  maupun mortalitas yang berarti[5, 14-16].
Diagnosis Metode Non Invasif
Tes Serologi merupakan teknik non-infasif pertama yang dipakai untuk mendeteksi  anti  H.pylori  IgG  pada  serum  penderita.  Adanya  Infeksi  mukosa lambung karena   H. Pylori terjadi peningkatan   specific kadar IgG and IgA dalam serum and Peningkatan kadar   secretory IgA and IgM dalam perut. Uji serologi sudah  banyak  digunakan  oleh  beberapa  pusat  pelayanan  kesehatan.  Yang penting dari hal tersebut adalah dengan tes ini kita dapat mendeteksi paparan bakteri ke host   tetapi kita tidak dapat mendeteksi secara pasti adanya infeksi
yang sedang berlangsung. Kadar antibodi menetap dalam darah dalam jangka waktu  panjang  sehingga  meskipun  infeksi  H.pylori  sudah  diobati.  Hasil  uji serologi  tergantung  dari  antigen  H.pylori  yang  digunakan  pada  pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada uji tersebut. Saat ini telah ditemukan uji serologi  (ELISA) dengan menggunakan spesimen
urin. Hasil yang diperolehpun sangat akurat, sehingga sangat berguna untuk penapisan  infeksi  H.pylori[13, 18]
Selain  itu,  telah  ditemukan  pula  cara mendeteksi  antibodi  H.  pylori  di  dalam  air  liur,  tetapi  nilai  sensitivitas  dan spesifisitas pemeriksaan ini masih dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan  70-82%. Tes antibodi pada saliva dan urine merupakan salah satu noninvasif tekhnik untuk mendeteksi H.pylori infeksi[17-19].
Uji  C-urea  nafas  didasarkan  pada  kenyataan  bahwa  kuman  H.pylori memproduksi  urease.  Urease  adalah  enzym  yang  memecah  urea  menjadi ammonia dan CO2. Urea dengan label   C13 atau C14   dimakan oleh penderita dan menyebar melalui mukosa menuju pembuluh darah yang mensupply mukosa dan H.pylori. Ketika sudah mendekati epitel pembuluh darah yang mensupply mukosa  beberapa  menit  kemudian  isotop  carbondioksida  akan  tampak  pada pernafasan.  Uji  C-urea  napas  merupakan  uji  diagnostik  yang  realibel  dan merupakan pilihan pertama dan dapat digunakan sebagai evaluasi terapi. Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-100%[17, 20].
Stool antigen test adalah pemeriksaan enzimatik         (ELISA) yang dapat mengidentifikasikan antigen H pylori pada feses. Stool antigen test terdiri dari metode  poliklonal  and  monoklonal  untuk  mendeteksi  infeksi  juga  untuk monitoring  pasca  terapi    H.Pylori .  Keuntungan  pemeriksaan  Stool  antigen adalah membedakan infeksi aktif H.pylori dengan paparan, pemeriksaan noninvasif, penderita lebih nyaman lebih murah daripada metode lain, mendeteksi antigen  secara  langsung,  dapat  digunakan  sebagai  alat  untuk  monitoring sebelum dan sesudah terapi dan akurasi lebih >95%[21].

Metode invasif
Pemeriksaan  endoskopi  direkomendasi  untuk  dikerjakan  pada  kasus dengan gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi. Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Endoskopi UGI dengan biopsi masih merupakan baku emas diagnosis H.pylori. Pemeriksaan histopatologi yang dilakukan pada infeksi H. pylori sering dihubungkan dengan
gastritis kronis superfisial. Hal ini ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang baik mononuklear maupun neutrofil pada sel epitel. Inflamasi yang terjadi bervariasi mulai  dari  infiltrasi  minimal  lamina  propria  sampai  inflamasi  hebat  dengan terbentuknya mikroabses dan
reactive epithelial atypia. Inflamasi yang terjadi pada anak lain dengan yang terjadi pada dewasa, pada pemeriksaan endoskopi didapatkan  lapisan  mukosa  dengan  granular-granular  halus  atau  nodul-nodul yang  apabila  dilihat  dengan  mikroskop  berhubungan  dengan  hiperplasia
limfonodular  terutama  di  daerah  antrum.  Dengan  pemeriksaan  histopatologi dapat dikenali pula morpfologi H.pylori. Sensitifitas histologi secara umum  90-95%.  Jika  biopsi  dilakukan  pada  posisi  lebih  kurang  2-3  cm  dari  kurvatura lambung menunjukkan hasil positif   lebih dari 90%. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi untuk membuktikan adanya H. Pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai  evaluasi  hasil  eradikasi,  maka  sebaiknya  dilakukan  paling  cepat         4minggu setelah terapi selesai[22, 23].
Biakan  organisme  merupakan  cara  yang  terbaik  untuk  menegakkan diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari jaringan  biopsi  lambung  dan  duodenum.  Walaupun  demikian,  biakan  masih dianggap  sebagai  jenis  pemeriksaan  yang  tidak  praktis.  Teknik  biakan  sulit, karena memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% oksigen dengan 5-10%  CO2)  dan  memerlukan  waktu  yang  cukup  lama.  Hal  ini  yang  menjadi hambatan bila digunakan sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan
untuk  kepentingan  penelitian.  Biakan  mempunyai     dua  keuntungan  yaitu kegunaan  utama  biakan  adalah  menentukan  jenis  antibiotik  yang  akan digunakan. Kegunaan lain adalah mengisolasi    bahan dengan menggunakan kultur . Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin
diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali[18, 23].
Gastric Biopsi test didasarkan pada aktivitas enzim urease yang memecah reagen urea tes untuk membentuk amonia. Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsi lambung akan memperlihatkan perubahan warna media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat dicernanya urea oleh urease dan perubahan tersebut dilihat dengan adanya indikator yaitu perubahan phenol red. Uji ini mempunyai nilai   spesifisitas   yang   tinggi,   tetapi   sangat   tergantung   pada   ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostik cara ini dapat ditingkatkan dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan biopsi  berkurang  pada  pasien  yang  mendapat  proton  pump  inhibitor (PPI), antibiotik,  atau  bismut.  Hal  ini  dapat  disebabkan  oleh  berkurangnya  jumlah bakteri, berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease.  Oleh  karena  itu,  pada  pasien  yang  mendapat  obat-obat  tersebut, dianjurkan untuk dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung. CLO test (gel test) dikembangkan oleh   Marshall, merupakan biopsy urease yang pertama kali yang spesifik untuk H.pylori. CLO tes terdiri dari agar gel yang terdiri dari phenol red dan urea. Tes dapat diinterpretasikan lebih dari 24 jam setelah gastric biopsy ditempatkan pada agar gel. Ada dua tes yang sejenis yaitu Hp fast (gel test) dan PyloriTek (Paper test). Dari keseluruhan alat pemeriksaan mempunyai sesitivitas 88-93% dan dengan spesifisitas 99-100%[18, 23, 24]
Polymerase chain reaction merupakan teknik laboratorium yang secara in vitro dapat memproduksi rantai DNA spesifik dalam jumlah yang besar.Spesimen dari PCR dapat diambil dari spesimen biopsi, asam lambung, saliva. Pemeriksan ini dapat mendeteksi strain typing H. Pylori dan menghitung jumlah bakteri dalam jaringan biopsi. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini tinggi. PCR tidak digunakan secara rutin, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan penelitian. PCR juga dapat digunakan untuk menentukan strain H.pylori atau resistensi obat yang digunakan untuk eradikasi infeksi H.pylori,  dan virulensi bakteri[24].
Kapankah tes-tes diagnostik ini sebaiknya dilakukan  ? North American Study for Pediatric Gastroenterology and Nutrition merekomendasikan bahwa pada anak dengan ulkus peptikum yang terdiagnosa secara endoskopi maupun radiologi, MALT lymphoma, dan untuk follow-up therapy sebaiknya dilakukan tes untuk mendeteksi adanya H. Pylori ini. Sedangkan pada anak dengan resiko tinggi  infeksi  tetapi  asimtomatik,  nyeri  perut  yang  tidak  berhubungan  ulkus peptikum, dan riwayat keluarga dengan kanker gaster tidak direkomendasikan untuk dilakukan tes-tes diagnostik ini secara rutin[25].
TERAPI
Pada tahun 1999 North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,Nutrition (NASPGHAN)   dan   European   Society   for   Pediatric Gastroenterology,Hepatology, Nutrition (ESPGHAN) memformulasikan guideline untuk manajemen H pylori infeksi pada anak[25, 26]
North  American  Society  for  Pediatric  Gastroenterology,  Hepatology, Nutrition (2000) mencoba merekomendasikan terapi untuk infeksi H.pylori   yang digunakan selama 14 hari[25].
Pada beberapa penelitian telah banyak dilaporkan terjadinya resistensi terhadap clarithromycin dan metronidazole. Resistensi terhadap clarithromycin adalah akibat mutasi terhadap gen 23S ribosom, sedangkan resistensi terhadap metronidazole   lebih   heterogen   penyebabnya.   Apabila   resisten   terhadap clarithromycin  saat  dilakukan  tes  sensitifitas,  dikatakan  clarithromycin  sama sekali tidak  dapat digunakan, tetapi apabila  resisten  terhadap metronidazole, obat ini masih dapat digunakan[27-31].
KEPUSTAKAAN
  1. Logan,  R.  and  M.  Walker.  ABC  of  the  upper  gastrointestinal  tract: epidemiology  and  diagnosis  of  Helicobacter  pylori  infection.  Br  Med  J 2001; 323: 920-2.
  2. Ortiz,  D.,  et  al.  Prevalence  of  Helicobacter  pylori  Infection  in  Warao Lineage  Communities  of  Delta  Amacuro  State,  Venezuela.  Mem  Inst Oswaldo Cruz 2003; 98(6): 721-25.
  3. Hegar, B. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Sari Pediatri 2000; 2(2): 82 - 89
  4. Caroll,  M.  Helicobacter  pylori  Infection. 2002;  Available  from:  http://www.emedicine.com/ped/Gastroenterology.html [cited 28/12/2005]
  5. Crone,  J.  and  B.D.  Gold.  Helicobacter  pylori  Infection  in  Pediatrics. Helicobacter 2004; 9: 49-56.
  6. Ertem, D., H. Harmanci, and E. Pehlivanoglu. Helicobacter pylori infection in Turkish preschool and school children: role of socioeconomic factor and breast feeding. Turkish J Pediatr 2003; 45: 114-22.
  7. Marshall, B. Helicobacter pylori: 20 years on. Clin Med JRCPL 2002; 2: 147-52.
  8. Amieva, M.R. Important Bacterial Gastrointestinal Pathogens in Children: A Pathogenesis Perspective. Pediatr Clin North Am 2005; 52: 749-77.
  9. Dunn, B.E., H. Cohen, and M.J. Blaser. Helicobacter pylori. Clin Microbiol Rev 1997; 10: 720-41.
  10. Suerbaum, S. and P. Michetti. Helicobacter pylori infection. N. Engl J Med 2002; 347: 1175-86.
  11. Czinn,  S.J.,  FAAP, and  FACG.  Helicobacter pylori infection:  detection, investigation and management J Pediatr 2005: S21-26.
  12. Yahav,  J.,  et  al.  Relevance  of  CagA  Positivity  to  Clinical  Course  of Helicobacter pylori Infection in Children. J. Clin Microbiol  2000;  38(10): 3534-37.
  13. Rocha, G.A., et al. Immunoblot Analysis of Humoral Immune Response to Helicobacter pylori in Children with and without Duodenal Ulcer. J Clin Microbiol 2000; 38: 1777-81.
  14. Ganga-Zandzou,  P.S.,  et  al.  Natural  Outcome  of  Helicobacter  pylori Infection  in  Asymptomatic  Children:  A  Two-year  Follow-up  Study. Pediatrics 1999; 104: 216-21.
  15. Kalach,  N.,  et  al.  Helicobacter  pylori  Infection  Is  Not  Associated  With Specific Symptoms in Nonulcer-Dyspeptic Children. Pediatrics 2005; 115: 17-21.
  16. Barabino,  A.  Helicobacter  pylori-Related  Iron  Deficiency  Anemia:  A Review. Helicobacter 2002; 7: 71-75.
  17. Sabbi,  T.,  et  al.  Efficacy  of  Noninvasive  Tests  in  the  Diagnosis  of Helicobacter pylori Infection in Pediatric Patients. Am. Med Association 2005; 159: 238-41.
  18. Vakil, N. and A.M. Fendrick. How to test for Helicobacter pylori in 2005.Cleveland Clin J Med 2005; 72: 508-14.
  19. Tiwari,  S.K.,  et  al.  Rapid  diagnosis  of  Helicobacter  pylori  infection  in dyspeptic  patients  using  salivary  secretion:  a  non-invasive  approach. Singapore Med J 2005; 46(5): 224-28.
  20. Megraud,  F.  Comparison  of  Non-Invasive  Test  to  Detect  Helicobacter Pylori  Infection  in  Children  and  Adolescents:  Result  of  A  Multicenter European Study. J Pediatr 2005; 146: 198-203.
  21. Elitsur, Y. Helicobacter Pylori Diagnostic Tool: Is It In the Stool. J Pediatr 2005: 164-67.
  22. Sherman,   P.M.   Appropriate   Strategies   for   Testing   and   Treating Helicobacter pylori in Children: When and How? N. Engl J Med 2004; 117: 30S-35S.
  23. Vaira, D., et al. Review article: diagnosis of Helicobacter pylori infection.Aliment Pharmacol Ther   2002; 16: 16-23.
  24. Hino, B., et al. Comparison of invasive and non invasive test diagnosis and   monitoring   of   Helicobacter   infection   in   children.   J   Pediatr Gastroenterol Nutr 2004; 39: 519-23.
  25. Gold,   B.D.,   et   al.   Helicobacter   pylori   Infection   in   Children: Recommendations for Diagnosis and Treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 31: 490-97.
  26. Malfertheiner,  P.,  et  al.  Current  concepts  in  the  management  of Helicobacter pylori  infection-The  Maastricht  2-2000  Consensus Report. Aliment Pharmacol Ther. 2002; 16: 167-80.
  27. Dupont,  C.,  N.  Kalach,  and  J.  Raymond.  Helicobacter  pylori  and Antimicrobial Susceptibility in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003; 36: 311-13.
  28. Faber, J., et al. Treatment Regimens for Helicobacter pylori Infection in Children: Is In Vitro Susceptibility Testing Helpful? J Pediatr Gastroenterol Nutr 2005; 40: 571-74.
  29. Houben,  M.H.M.G.,  et  al.  A  systematic  review  of  Helicobacter  pylori eradication therapy the impact of antimicrobial resistance on radication rates. Aliment Pharmacol Ther. 1999; 13: 1047-55.
  30. Kalach,  N.,  et  al.  Helicobacter  pylori  in  Children:  Acquisition  of Antimicrobial  Resistance  after  an  Initial  Course  of  Treatment.  J  Clin Microbiol 2001; 39: 3018-19.
  31. Lopes,  A.I.,  et  al.  Antibiotic-Resistant  Helicobacter  pylori  Strains  in Portuguese Children. Pediatr. Infect Dis J 2005; 24: 404-09.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar